Jakarta, ruangenergi.com- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melihat filosofi kenapa kontraktor kontrak kerjasama (K3S) migas enggan mengambil resiko eksplorasi yang sangat tinggi karena faktor biaya.
Itu sebabnya K3S migas maunya cost recovery. Resiko itu ditanggung keduabelah pihak.
“Tapi kalau fix, gak banyak pengembangan yang beresiko maka gross split gunanya. Oleh karena itu kalau K3S mendapat lapangan migas, maka dia melakukan studi mana yang cocok (gross split atau cost recovery),” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam Konferensi Pers Awal Tahun 2024 Kinerja Hulu Migas Tahun 2023, Jumat (12/01/2024), di Jakarta.
Perubahan itu, lanjut Dwi, dimungkinkan karena mengikuti fiscal term yang lebih fleksibel. Namun tetap kepentingan negara yang nomor satu..
“Potensinya bisa tambah, pengembangan-pengembangan baru yang tidak terpikul pada saat gross split maka itu bisa dikonsider,”tukas Dwi.
Dalam catatan ruangenergi.com, SKK Migas mengakui ketika blok Andaman I, II dan III plus South Andaman dilelang, kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas memilih gross split dalam skema bagi hasil pengelolaan wilayah kerjanya.
Di periode lelang waktu itu, KKKS diminta semuanya memakai gross split. Begitu pula ketika Pertamina Hulu Energi (PHE) pada saat perpanjangan wilayah kerja (WK), beberapa diperpanjang dengan memakai skema gross split (GS).
“Di tahun 2018 term and conditionsnya mungkin saat itu tidak terlalu bagus sehingga banyak yang negatif. Begitu dia perpanjangan negatif. Saat ini PHE dibeberapa WK melihat ke depan, gak ekonomis kalau diteruskan dengan term and condition itu (memakai gross split). Gimana kalau diberikan insentif. Ini yang sedang kita kaji bersama-sama Ditjen migas dan dengan PHE juga,”kata Deputi Eksplorasi, Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas Benny Lubiantara menjawab pertanyaan ruangenergi.com dalam Konferensi Pers Awal Tahun 2024 Kinerja Hulu Migas Tahun 2023, Jumat (12/01/2024), di Jakarta.