Jakarta, Ruangenergi.com – Komisi VII DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno, selaku pimpinan rapat, mengatakan, rapat tersebut membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang masuk kedalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) prioritas 2020.
Pimpinan rapat, mempersilahkan Ketua METI untuk memaparkan materi kepada Anggota Komisi VII.
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Surya Dharma, meminta dukungan dari Komisi VII DPR untuk mengakomodir aspirasi masyarakat khususnya dalam antisipasi transisi energi Indonesia.
Menurutnya, respon Parlemen terhadap tidak adanya kepastian hukum dalam berusaha di sektor ET (Energi Terbarukan) karena regulasi ET yang sering berubah. Kemudian, proses panjang yang berujung pada RUU EBT. Aspirasi awal adalah upaya penuhi target Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“Itu sebab mengapa EBT tidak berkembang, karena harga listriknya masih mahal ketimbang energi fosil,” jelas Surya Dharma, di ruang rapat Komisi VII, Kamis (17/09).
Ia menambahkan, potensi sumber daya panas bumi (Geothermal) sebesar 11,0 GW (Gigawatt), Reserve sebesar 17,5 GW, Realisasi PLTP 2.131 GW (0,44%).
“Potensi Energi Air sebesar 75 GW (19,3 GW), Realisasi sebesar PLTA 5,976 GW dan PLTMH 0,225 GW (1,21%),” ungkapnya.
Potensi PLT Bioenergi sebesar 32,6 GW, sementara pemanfaatan BBN (Bahan Bakar Nabati), sebesar 200 Ribu Barel per hari (Bph), Realisasi PLT Bio baru mencapai 1,869 GW (0,42%). Potensi Energi Angin sebesar 60,6 GW, sementara realisasi PLTB sebesar 154 MW (0,02%).
“Potensi energi surya (PLTS) sebesar 207,8 GWp (Gigawatt Peak), sementara realisasi PLTS baru sebesar 0,152 GWp (0,02%). Potensi gelombang laut sebesar 17,9 GW, hingga saat ini belum ada yang memanfaatkannya. Sehingga total potensi EBT di Indonesia sebesar 442 GW, sementara hingga saat ini kapasitas terpasangnya baru sebesar 10,302 GW (2%),” bebernya.
Selain itu, upaya merealisasikan target Rencana Usaha Energi Nasional (RUEN) 2025 EBT sebesar 23%, lalu Minyak Bumi sebesar 25%, Gas Bumi sebesar 22%, serta Batubara sebesar 30%.
Sementara, dalam target RUEN di 2050 penggunaan EBT dapat meningkat menjadi 31%, Minyak Bumi sebesar 20%, Gas Bumi sebesar 24%, serta Batubara sebesar 25%.
“Transisi energi ini harus diperlukan karena, yang pertama akan memperkuat jaminan pasokan energi (energy security) sambil mengurangi dan akhirnya meredam kebutuhan akan bahan bakar fosil,” tutur Surya.
Pembangunan EBT Dongkrak Ekonomi Daerah
Selanjutnya, mengembangkan industri sambil menyehatkan neraca pembayaran negara (country’s balance of payment). Lalu, adanya pembangunan EBT dapat membuka lapangan/kesempatan kerja terutama di wilayah-wilayah pedesaan.
Kemudian akan meningkatkan kreasi nilai tambah hasil-hasil industri budidaya. Serta dapat mengurangi pemanasan global (emisi gas-gas rumah kaca).
Terkait pengembangan Pembangit Listrik berbasis energi terbarukan, METI telah meminta dukungan kepada pemerintah yang dalam hal ini Kementerian/Lembaga terkait.
Pertama bersama Kementerian ESDM merencanakan rasio elektrifikasi tahun 2020 mendekati 100%.
“Kemudian, membangun infrastruktur ketenagalistrikan di tahun 2025 sebesar 135,4 GW dengan Pembangkit Fosil sebesar 90,4 GW dan EBT sebesar 45 GW. Tahun 2050 sebesar 444,5 GW dengan Pembangkit Fosil sebesar 275,4 GW dan EBT sebesar 169 GW,” katanya.
Selain itu, METI juga menggandeng Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Kementerian ATR) dalam menyusun mekanisme pemanfaatan lahan untuk penyediaan energi pada lahan yang tumpang tindih dengan kebutuhan lain.
“Regionalisasi penyediaan listrik dengan cara membentuk wilayah usaha baru ketenagalistrikan di luar Jawa, Madura dan Bali, bersama Kementerian ESDM. Menerapkan tarif dasar listrik progresif dan memberlakukan regionalisasi harga,” jelasnya.
Ia melanjutkan, METI juga menggandeng Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjaminan proyek infrastruktur energi yang strategis. Kemudian bersama Kementerian Riset dan Pengembangan Teknologi (Kemenristek Dikti), dalam mengembangkan prototipe pembangkit listrik tenaga uap dengan TKDN 100% untuk kapasitas 200 MW ke bawah hingga siap komersial.
Selain itu, menyiapkan penguasaan teknologi PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), serta. Memperkuat penerapan dan pemanfaatan teknologi dan komponen teknologi pembangkit listrik.
Kemudian bersama Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong pembentukan Engineering Procurement Construction (EPC) dalam negeri proyek ketenagalistrikan berkapasitas di bawah 200 MW.
Bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam memfasilitasi proses layanan penerbitan pinjam pakai, kerja sama, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pelepasan kawasan hutan sesuai ketentuan yang berlaku.
”Itu sebab kenapa energi terbarukan belum sesuai Target KEN, salah satunya kebijakan harga (ET) belum memperlihatkan kesungguhan Pemerintah dalam mendukung pemanfaatan ET; tidak sesuai dengan ketentuan UU No.30/2007 Tentang Energi,” imbuhnya.
Ia menambahkan, tidak ada ketetapan standar harga ET sebagaimana harga Indonesia Crude Price (ICP), Indonesia Coal Price, dan lainnya.
Kemudian, tidak adanya level of playing field bagi ET; Lalu kevakuman Peraturan Perundangan untuk ET (Tidak ada UU ET), sehingga perlu UU ET; Serta mekanisme yang ada tidak (bankable).
“Selain itu, bank nasional belum tertarik mendanai proyek ET. Teknologi lokal belum berkembang (kecuali microhydro), sehingga biaya investasi mahal,” tandas Surya.