Wow! Begini Perbedaan Kondisi Hulu Migas di Indonesia, Dulu dan Sekarang

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, ruangenergi.com- Perbedaan kondisi hulu migas di indonesia dulu dan sekarang cukup signifikan, terutama dalam hal produksi, regulasi, teknologi, serta tantangan dan peluang yang ada. Berikut adalah beberapa aspek utama yang membedakan:

  1. Produksi migas
    • Dulu: pada era 1970-an hingga 1990-an, indonesia termasuk salah satu negara produsen minyak terbesar di asia, dengan produksi minyak mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari. Saat itu, cadangan minyak masih relatif melimpah.
    • Sekarang: produksi minyak terus menurun dan saat ini berada di kisaran 600 ribu barel per hari. Hal ini terutama disebabkan oleh penurunan produksi dari lapangan-lapangan tua dan kurangnya temuan cadangan besar baru yang signifikan. Namun, pemerintah sedang berupaya untuk meningkatkan produksi dengan target 1 juta barel per hari pada 2030.
  2. Regulasi dan kebijakan
    • Dulu: regulasi hulu migas di Indonesia pada umumnya mengandalkan sistem kontrak bagi hasil (psc/production sharing contract) yang cukup sederhana. Pemerintah berperan besar dalam mengontrol industri, dengan pertamina sebagai satu-satunya perusahaan negara yang memonopoli sektor ini.
    • Sekarang: kini, regulasi lebih kompleks dengan adanya revisi kebijakan bagi hasil melalui skema gross split yang memperhitungkan biaya operasi secara langsung tanpa mekanisme cost recovery. Selain itu, investasi asing mulai lebih diperhatikan, terutama setelah dibentuknya skk migas sebagai pengawas industri hulu migas.
  3. Teknologi
    • Dulu: penggunaan teknologi dalam industri hulu migas masih terbatas pada metode konvensional. Eksplorasi dilakukan di daratan dan laut dangkal, karena teknologi untuk eksplorasi laut dalam masih minim.
    • Sekarang: teknologi hulu migas telah berkembang pesat, dengan penggunaan metode pemboran horizontal, enhanced oil recovery (eor), dan metode seperti cluster drilling yang diterapkan oleh phr (pertamina hulu rokan). Teknologi ini memungkinkan peningkatan efisiensi eksplorasi di lapangan-lapangan tua dan di daerah dengan kondisi geologi yang kompleks.
  4. Tantangan lingkungan dan sosial
    • Dulu: faktor lingkungan dan sosial tidak menjadi perhatian utama, dan pengawasan dampak lingkungan belum seketat sekarang.
    • Sekarang: perusahaan-perusahaan migas dihadapkan pada regulasi lingkungan yang lebih ketat. Komitmen terhadap keberlanjutan, esg (environmental, social, and governance), serta tuntutan dari masyarakat lokal semakin tinggi.
  5. Investasi dan infrastruktur
    • Dulu: investasi di sektor hulu migas cukup tinggi, terutama dari perusahaan minyak asing. Infrastruktur yang ada juga lebih difokuskan untuk mendukung produksi di daratan dan laut dangkal.
    • Sekarang: tantangan investasi meningkat seiring dengan persaingan global yang ketat, terutama karena cadangan migas indonesia relatif sulit ditemukan dalam jumlah besar. Pemerintah juga mulai menambah investasi di infrastruktur untuk mendukung eksplorasi laut dalam dan sumber daya non-konvensional.
  6. Peranan Nasionalisasi dan Kemandirian Energi
    • Dulu: indonesia lebih banyak bergantung pada perusahaan-perusahaan asing dalam pengelolaan lapangan migas besar.
    • Sekarang: ada dorongan untuk kemandirian energi dengan peran pertamina yang semakin diperkuat. Pemerintah juga mendorong pembentukan participating interest (pi) untuk pemerintah daerah, seperti yang diterapkan pada blok jabung, guna memberikan dampak ekonomi lebih luas bagi masyarakat lokal.

Perbedaan ini menunjukkan bagaimana perubahan teknologi, ekonomi, sosial, dan lingkungan telah mengubah lanskap hulu migas di indonesia dari waktu ke waktu.