RuangEnergi.com,Jakarta- Kebijakan Energi Nasional (KEN) menargetkan capaian bauran energi nasional yang berasal dari EBT sebesar 23% di 2025, bukan perkara mudah. Banyak yang pesimistis target tersebut tercapai. Namun kini, dengan rencana pengembangan PLTN di Indonesia, target tersebut optimistis bisa dicapai. Jika berjalan sesuai rencana, PLTN diproyeksi bisa menyumbang 10 GW secara Nasional.
Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7% dengan mendorong tumbuhnya industri-industri strategis, dibutuhkan dukungan keandalan energi melalui pengembangan energi murah dan kompetitif. Ada tiga jenis energi yang berasal dari energi baru dan terbarukan yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung keandalan energi nasional, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), geothermal atau panas bumi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Ketua Tim Kerja Penyiapan Pembangunan Prototipe PLTN dan Komersialisasinya Agus Puji Prasetyo, mengatakan dari tiga jenis energi tersebut, PLTN disebut sebagai energi yang paling mungkin dikembangkan di Indonesia untuk mendukung keandalan energi Nasional.
Asumsi tersebut menurut dia, didasarkan atas pengalaman dari negara-negara yang sudah sukses mengimplementasikan PLTN dalam sistem ketenagalistrikan mereka.
“Kalau kita lihat, negara maju yang bicara tentang pengembangan renewable energy adalah mereka yang memiliki PLTN. Negara yang mengembangkan renewable energy adalah yang memiliki PLTN. Subsidinya diambil dari PLTN yang murah. PLTN menjadi andalan banyak negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendorong pertumbuhan energi terbarukan lainnya. Sementara Indonesia, kalau mau bicara renewable energy, kita tidak punya energi yang murah. Kita mau subsidi dari mana. Jadi kita mesti timbang-timbang antara renewable energy, antara minyak, gas dan batubara, dengan PLTN,” ungkap Agus.
Lebih jauh Agus mengatakan, masuknya PLTN untuk mendukung ketahanan energi nasional, sekaligus mendukung target pemerintah dalam mencapai bauran energi dari EBT sebesar 23% pada 2025 sangat memungkinkan.
Alasannya, PLTN merupakan energi yang paling stabil. Selama 24 jam stabil dan selama sekian puluh tahun mampu terus dipertahankan. Pengelolaan dan pemeliharaannya juga jauh lebih murah dibandingkan jenis energi lainnya.
Belum lagi dari sisi harga jual yang lebih murah dibandingkan energi lainnya. Ditambah lagi, adanya peluang dalam Rancangan Umum Energi Nasional yang menyebutkan soal jenis EBT lain yang besarnya 10 gigawatt (GW), sehingga membuka potensi pengembangan PLTN. Dengan demikian, untuk mendukung target capaian EBT dalam bauran energi nasional, PLTN sangat dibutuhkan.
“Jadi patut dicoba. Kebetulan saya juga ikut merancang RUEN. Yang namanya EBT masih ada satu baris, itu energi surya, angin, gelombang laut, mikro hidro dsb. Lalu di bawah itu, ada tertulis EBT lainnya 10 GW. Saya melihat ini seharusnya ditulis dengan PLTN. Tapi ditulis dengan EBT lainnya. Potensi 10 GW itu bisa digalang diantaranya dengan geothermal. Tapi saya lihat geothermal juga masih kecil. Lalu PLTA juga mengalami kendala. Jadi yang luwes dan bisa dibangun di mana saja itu saya kira PLTN. Saya kira kalau tidak ada PLTN kita susah sekali akan maju. Kita hanya bermain di gas, gas itu mahal dan susah untuk industri hulu,” tandas Agus.
Dia juga menjelaskan, target PLTN yang dapat dibangun di Indonesia jika diterjemahkan dari RUEN, kapasitasnya mencapai 10 GW. Meskipun dari sisi investasi awal, capex-nya sedikit lebih mahal dari batubara, tetapi dari sisi harga jual lebih murah dari batu bara dan juga dari jenis EBT lain.
Belum lagi dari sisi umur PLTN yang jauh lebih panjang dari batubara, dan pemeliharaannya yang sangat mudah.
”Jadi kalau dibandingkan dengan energi lain, masih untung kalau kita pakai PLTN. Memang ongkos pembangunannya sedikit lebih mahal, tetapi keuntungan lifetime dsb, dan kalau kita melihat emisi CO2 di udara, maka itu bisa menjadi pertimbangan penting atau tidaknya PLTN dibangun di Indonesia,” pungkas Agus.













