Jakarta, ruangenergi.com – Menjelang peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Merangin yang direncanakan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Agustus 2025, warga Kerinci, Jambi, merasa ada banyak masalah yang belum terselesaikan. Salah satu masalah utama adalah konflik sosial yang berkepanjangan di antara masyarakat setempat.
Konflik ini bermula dari rencana pembebasan lahan sekitar 40 hektar pada tahun 2000-an untuk pembangunan PLTA berkapasitas 150 Megawatt (MW) oleh PT Kerinci Merangin Energi (KME).
Sejak itu, nama perusahaan ini telah berubah beberapa kali, menjadi PT Kerinci Hidro Energi (KHE) dan kemudian PT Kerinci Merangin Hidro (KMH), yang semuanya merupakan bagian dari PT Bukaka Teknik Utama Tbk (Kalla Group).
Antara tahun 2012 hingga 2022, PT KMH berhasil membebaskan lahan seluas 400 hektar milik masyarakat adat Muaro Langkap. Namun, menurut hukum adat, lahan tersebut seharusnya tidak diperjualbelikan.
Mukhri Soni, Depati Muaro Langkap Tamiai, Krinci, Jambi menjelaskan bahwa masuknya investor dan penguasaan lahan ini telah memicu konflik di antara warga yang pro dan kontra terhadap proyek tersebut.
“Kami tidak menolak pembangunan fasilitas pembangkit listrik oleh siapa pun, termasuk investor, apalagi untuk kepentingan negara. Seharusnya mereka patuh pada aturan adat yang melarang kepemilikan lahan secara permanen,” ungkap Mukhri setelah mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo melalui email.
Mukhri juga mencurigai bahwa PT KMH berusaha memecah belah masyarakat adat dengan menawarkan pekerjaan dan uang kepada warga yang mendukung pembelian lahan. Hal ini menyebabkan konflik semakin berkepanjangan, bahkan sering terjadi bentrokan fisik di antara mereka.
Dia menekankan bahwa tawaran pekerjaan dan uang hanya bersifat sementara, dan masyarakat harus memikirkan keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Mukhri mengingatkan bahwa pada zaman Belanda, leluhur mereka pernah menyewakan tanah untuk perkebunan kopi, dan setelah masa sewa berakhir, lahan tersebut dikembalikan kepada masyarakat.
“Ketentuan seperti itulah yang ingin kami tegakkan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Kami ingin semua pihak, termasuk investor, menghormati budaya lokal di Kerinci,” tegasnya.
Masalah lain yang dihadapi adalah dampak lingkungan dari proyek ini. Pembangunan PLTA oleh PT KMH telah merusak sungai dan mengganggu kehidupan masyarakat Batang Merangin.
Banyak nelayan yang terdampak, dan lahan perkebunan serta rumah penduduk mengalami keretakan akibat aktivitas proyek. Sayangnya, hingga kini PT KMH belum memberikan ganti rugi untuk kerusakan yang terjadi.
Karena itu, Mukhri merasa perlu untuk melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo agar peresmian PLTA Batang Merangin ditunda sampai semua masalah yang ada di masyarakat dapat diselesaikan.
Di sisi lain, dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR RI, Anggota DPR dari Dapil Jambi, Rocky Candra, juga meminta Menteri Lingkungan Hidup untuk turun langsung melihat kerusakan lingkungan di Kabupaten Kerinci.
Dia mengungkapkan bahwa kerusakan ini telah terjadi dari hulu hingga hilir, dan berharap agar Kementerian Lingkungan Hidup dapat mengawasi dampak pembangunan PLTA agar masyarakat bisa hidup dengan tenang.
Pihak media, telah menghubungi Manajer Humas PT Kerinci Merangin Hidro (KMH), Aslori melalui WhatsApp namun hingga berita ini diturunan belum mendapatkan balasan.