Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com – Mengapa Singapura, sebuah negara kecil tanpa sumber daya alam, bisa menjadi kiblat perdagangan minyak global? Sementara Indonesia, yang kaya akan migas, justru terjebak dalam masalah inefisiensi dan harga yang tidak transparan? Jawabannya ada pada sistem dan ekosistem yang berbeda, ibarat langit dan bumi. Singapura punya MOPS, kita masih berurusan dengan “obrolan off-taker.”
Kajian mendalam yang disusun oleh Andy Noorsaman Someng, mantan Ketua BPH Migas periode 2011-2017, mengungkap disparitas mencolok antara kedua negara. Diterbitkan pada 7 September 2025, tulisan ini membuka mata kita tentang mengapa Indonesia sulit bergerak maju dalam perdagangan migas.
MOPS: Bahasa Universal Para Trader
Inti dari dominasi Singapura adalah Mean of Platts Singapore (MOPS). MOPS bukanlah sekadar angka, melainkan cerminan pasar yang dewasa dan sangat efisien. Setiap harinya, para pelaku pasar melaporkan transaksi, penawaran, dan permintaan mereka secara real-time dalam proses yang transparan.
“MOPS adalah ‘bahasa universal’ yang memungkinkan trader, produsen,, dan konsumen dari berbagai negara berinteraksi dengan percaya diri karena acuan harganya jelas dan diakui,” tulis Andy Noorsaman Someng (ANS).
MOPS menjadi sangat dipercaya karena didukung oleh:
* Likuiditas Tinggi: Volume perdagangan yang masif memastikan harga yang terbentuk benar-benar mencerminkan kondisi pasar.
* Netralitas: Harga tidak dikendalikan oleh entitas tertentu, menjauhkannya dari manipulasi.
* Instrumen Keuangan Pendukung: Keberadaan produk derivatif membuat pelaku pasar dapat melakukan hedging atau lindung nilai terhadap risiko fluktuasi harga.
Indonesia: Terjebak dalam Pusaran Oligopoli dan Politik Harga
Berbeda dengan Singapura, Indonesia masih menghadapi masalah struktural yang kronis. Andi N Someng mengidentifikasi tiga masalah utama:
* Regulasi yang Mematikan Pasar: Kebijakan subsidi BBM dan Domestic Market Obligation (DMO) membuat harga tidak mencerminkan pasar global. Harga yang ditetapkan pemerintah ini justru mematikan sinyal harga yang seharusnya menjadi panduan pasar.
* Infrastruktur dan Kelembagaan yang Lemah: Indonesia tidak memiliki trading hub fisik, kapasitas penyimpanan yang memadai, atau lembaga keuangan yang dapat mendukung hedging secara masif.
* Praktik Rent-Seeking dan Informasi yang Asimetris: Inilah masalah paling krusial. Ketidaktransparan dalam pengadaan migas, terutama di tubuh BUMN, membuka pintu bagi para rent-seeker atau pemburu rente. Mereka mengambil keuntungan tanpa memberikan nilai tambah, bertindak sebagai ‘makelar’ yang tidak terlihat.
Menurut dia, keberadaan rent-seeker bukanlah anomali, melainkan gejala dari sistem yang sakit. Mereka tetap eksis karena birokrasi yang rumit, corporate governance yang lemah, serta struktur kepemilikan yang tidak transparan yang seringkali menyamarkan identitas asli di balik perusahaan-perusahaan di Singapura.
Belajar dari Singapura, Bangun Ekosistem Mandiri
Andi N Someng menegaskan bahwa Indonesia tidak harus menjadi Singapura. Namun, kita bisa belajar dari efisiensi mereka. Beberapa langkah strategis yang bisa diambil antara lain:
* Menghapus Subsidi Secara Bertahap: Harga harus kembali mencerminkan kondisi pasar.
* Membangun Tata Kelola yang Transparan: Menerapkan e-procurement dan audit independen.
* Membangun Infrastruktur Pendukung: Mengembangkan storage hub di Batam atau Bontang.
* Bekerja Sama dengan Lembaga Internasional: Bekerja sama dengan Platts atau Argus untuk menciptakan acuan harga lokal yang diakui dunia.
Pada akhirnya, tujuan kita bukanlah menciptakan MOPS versi Indonesia, melainkan membangun ekosistem pasar yang transparan, efisien, dan bebas dari parasit ekonomi. Hanya dengan cara itulah, kekayaan migas Indonesia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan segelintir elite.