Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah terus melakukan berbagai inovasi terhadap bahan bakar minyak (BBM) dengan melakukan pencampuran terhadap minyak Kelapa Sawit.
Hal tersebut dilakukan selain untuk menekan impor, juga meningkatkan ketahanan energi nasional terhadap bahan bakar fosil.
Dalam sebuah Webinar yang bertajuk “Prospek Biofuel untuk Meningkatkan Ketahanan Energi Nasional” yang diselenggarakan oleh Universitas Pertahanan.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna, menyebut, kondisi energi Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi energi masih sangat bergantung pada energi fosil.
Dikatakan olehnya, jumlahnya lebih dari 90% konsumsi energi nasional berasal dari bahan bakar fosil. Minyak bumi 33,6%, Batubara 37,2%, dan Gas bumi 20,1%.
“Cadangan energi tanah air cenderung terus menurun misalnya saja minyak bumi, cadangan terbukti sebesar 2,48 B Bbl, produksi sebesar 272 MM BOPY, diperkirakan bertahan hingga 9 tahun kedepan. Sementara, Batubara cadangan terbukti sebesar 25,07 Miliar Ton, produksi sebesar 626,1 juta Ton/Y, diperkirakan bertahan hingga 40 tahun mendatang,” kata Andriah dalam paparan secara online, (04/11).
“Gas bumi cadangan terbukti sebesar 49,74 TSCF, produksi sebesar 2,6 TSCF/Y, diperkirakan bertahan hingga 19 tahun mendatang. Dalam catatan jika tidak ada penemuan cadangan baru yang signifikan,” sambungnya.
Ia menambahkan, komposisi konsumsi energi dalam negeri dari 2009-2019 mengalami peningkatan dari 714 MBOE menjadi 1007 MBOE.
Untuk di sektor transportasi mengalami peningkatan sebesar 12% (29% di 2009 dan 41% di 2019). Disektor rumah tangga Konsumsi energi mengalami penurunan 5% (20% di 2009 dan 15% di 2019). Disektor industri mengalami penurunan dari 43% di 2009 menjadi 39% di 2019.
Sementara, realisasi bauran energi nasional di 2019 penggunaan minyak bumi sebesar 33,58%, batubara sebesar 37,15%, gas bumi 20,12% serta EBT sebesar 9,15%.
Akan tetapi, Pemerintah menargetkan bauran energi nasional di 2025 pemanfaatan minyak bumi 25%, batubara 30% (1%-3% pallet sampah /biomassa), gas bumi 22%, serta EBT sebesar 25% (13%-15% PLT EBT; 2%-5% PLT Bio; dan 2%-3% mengunakan Biodiesel).
Mandatori Biodiesel
Andriah Feby mengatakan, yang menjadi latar belakang pemerintah mengembangkan biodiesel karena Indonesia memiliki potensi Crude Palm Oil (CPO) yang sangat besar. Tercatat di 2019 produksi Kelapa Sawit dalam negeri sebesar 42,8 juta ton.
“Selain itu, untuk meningkatkan ketahanan energi nasional realisasi di 2019 sebesar 6,39 juta KL, sementara target RUEN di 2025 sebesar 13,8 juta KL. Artinya hal ini ada celah (Gap) yang besar antara target pemanfaatan BBN (Bahan Bakar Nabati) dalam RUEN dengan realisasinya,” urainya.
Kemudian juga dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dalam catatannya, emisi GRK di 2019 tercatat sebesar 16,985 juta ton, untuk itu, di 2020 pemerintah berencana akan mengurangi hingga 11,221 juta ton emisi GRK.
Dalam RUEN pemerintah menargetkan penggunaan BBN di dari 2028-2025 terus meningkat, di 2018 target RUEN sebesar 5,4 juta KL sementara realisasi hanya mencapai 3,75 juta KL.
“Di 2019 dalam target RUEN Pemerintah menargetkan sebesar 6,6 juta KL, sementara realisasi sebesar 6,39 juta KL. Kemudian di 2020 Pemerintah menargetkan sebesar 9,6 juta KL, dan dalam target RUEN sebesar 8,00 juta KL, meski terdapat perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi tujuannya tetap sama yakni mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar energi fosil dan mengurangi impor,” katanya.
Untuk di 2021 target RUEN sebesar 8,9 juta KL; di 2022 sebesar 10,00 juta KL; di 2023 sebesar 11,2 juta KL; di 2024 sebesar 12,5 juta KL; dan di 2025 sebesar 13,9 juta KL.
Stategi Pengembangan BBN
Ia menambahkan, Pemerintah memiliki beberapa langkah dalam pengembangan BBN di tanah air.
Pertama, program B30, di mana pihaknya memastikan agar program B30 tersebut berjalan sesuai target.
“Melakukan monev secara ketat, Fasilitasi debottlenecking di lapangan, Peningkatan infratruktur penunjang, serta memastikan sustainibility dari insentif,” paparnya.
Kedua, kajian untuk B40 dan B50, di mana pemerintah akan melakukan kajian teknis komposisi campuran untuk B40 dan B50.
“Kajian ekonomi, kesiapan feedstock dan infrastruktur pendukung. Selain itu, melakukan uji jalan untuk campuran B40 dan B50, serta melakukan kembali kajian peluang penerapan B40/B50 di PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) eksisting,” ungkapnya.
Ketiga, program greenfuel, di mana pemerintah akan melakukan pengembangan program green refinery untuk menghasilkan green diesel, green gasoline dan bio avtur.
“Kemudian melakukan kajian regulasi yang diperlukan, kesiapan teknologi, bahan baku (feedstock), insentif dan infrastruktur pendukung. Lalu, melakukan pembangunan industri penunjang seperti methanol, katalis dan lainnya,” tuturnya.
Keempat, Hidrogenasi CPO (Crude Palm Oil), di mana pemerintah akan mendorong kerjasama dengan PT Pertamina (Persero) dan PT Pupuk Indonesia di bidang Hidrogenasi CPO.
“Balitbang Kementerian ESDM, PT Pertamina, PT Pusri, ITB, BPDPKS, serta pihak terkait lainnya akan membuat Demo Plant Stand Alone Green Diesel. Kemudian melakukan uji pilot dan pengujian produk pada Desember 2021,” urainya.
Kelima, pemanfaatan lahan bekas tambang, di mana pemerintah akan melakukan pemanfaatan lahan bekas tambang untuk lahan EBT (PLTS, Biofuel, Kelapa Sawit).
Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), Kementerian ESDM, dan Pemda untuk pendataan potensi lahan belas tambang yang dapat dimanfaatkan.
“Kami juga akan bekerja sama dengan Balitbang Kementerian ESDM dan Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menentukan jenis tanaman yang cocok dengan ketersediaan lahan dan potential off-taker,” terangnya.
Implementasi B40
Dia menjelaskan, saat ini belum ada peraturan yang mengatur pencampuran biodiesel hingga lebih dari B30. Di mana Roadmap mandatori Biodiesel mengacu pada Peraturan Menteri ESDM nomor 12 tahun 2015, tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain, yang hanya mengatur pencampuran B30 sampai dengan tahun 2025.
“Di tahun 2020, pemerintah melakukan roadmap implementasi B40, juga telah dilaksanakan kajian awal dengan ruang lingkup uji karakteristik bahan baku, uji stabilitas penyimpanan, uji filter bahan bakar, uji presipitasi dan uji kinerja,” katanya.
Kemudian, melakukan kajian insentif B40, merekomendasikan awal hasil kajian untuk belnding 40 menggunakan beberapa opsi, di antaranya, FAME 40%; FAME 30%+DPME 10%; dan FAME 30%+ Green Diesel 10%. Penyusunan parameter B100 yang digunakan untuk pencampuran B40.
Kemudian di tahun 2021, Pemerintah akan melakukan road test penggunaan B40, kemudian meningkatkan kapasitas industri BBN, melakukan penyesuaian regulasi mandatori biodiesel dan penetapan regulasi B40, serta melakukan konstruksi pembangunan Green Diesel (D100) oleh Pertamina.
Di tahun 2022, Pemerintah akan memberlakukan B40, dan perlu kesiapan produsen, infrastruktur, manufaktur, dan pendanaan untuk insentif.
Manfaat program Biodiesel dari B20 dan B30 salah satunya yakni volume yang digunakan cenderung meningkat.
Pada program B20 tahun 2018 tercatat volumenya sekitar 3,75 juta KL, atau 23,59 juta barel per tahun, atau 64,62 ribu barel per hari.
B20 di tahun 2019 tercatat konsumsi meningkatkan 100% dari tahun sebelumnya yakni sebesar 3,39 juta KL, atau 41,68 juta barel per tahun, atau 114,21 ribu barel per hari.
Kemudian, program B30 di tahun 2020, tercatat konsumsi baru sekitar 9,6 juta KL, atau 60,32 juta barel per tahun, atau 165,25 ribu barel per hari.
Manfaat lainnya yakni penghematan devisa, pada program B20 tahun 2018 Pemerintah berhasil melakukan penghematan sebesar US$1,89 Milar atau setara dengan Rp 26,67 Triliun.
Kemudian pada B20 tahun 2019 Pemerintah berhasil melakukan penghematan devisa sebesar US$ 3,04 miliar atau setara dengan Rp 43,819 Triliun.
Sementara, pada program B30 tahun 2020, Pemerintah berhasil melakukan penghematan devisa sebesar US$ 3,09 Milar atau setara dengan Rp 44,74 Triliun.
“Selain itu, pengurangan emisi gas rumah kaca juga terjadi dari tahun ke tahun, misalnya saja di 2018 pengurangan terjadi sekitar 9,96 juta ton CO2; di 2019 sekitar 16,98 juta ton CO2, serta di 2020 sebesar 25,6 juta ton CO2,” tandasnya.