Jakarta, Ruangenergi.com – Pakar hukum ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menegaskan, bahwa restrukturisasi di tubuh PT Pertamina (Persero) serta rencana initial public offering (IPO) subholding Pertamina tidak wajib melibatkan karyawan, termasuk Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).
Menurut Akademisi Universitas Krisnadwipayana itu, hubungan antara Kementerian BUMN, Pertamina, dan FSPPB mengikuti hubungan yang biasa berlaku di berbagai perusahaan pada umumnya.
“Selama ini, ketika hendak go public perusahaan manapun juga tidak harus mendapat izin dari serikat pekerja, karena hal itu merupakan hak prerogatif manajemen atau pemilik,” kata dia dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Kamis (30/7).
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa yang dimaksud pemilik adalah negara. Maka ketika Menteri BUMN Ercik Thohir melakukan restrukturisasi, dalam kapasitas mewakili negara. Begitu pula ketika Pertamina membentuk subholding dan berencana melakukan IPO, juga dalam kapasitas sebagai manajemen.
“Dengan demikian, tidak satu pun aturan yang dilanggar dalam restrukturisasi hingga rencana IPO subholding, termasuk aturan mengenai hubungan industrial. Semua perusahaan dan dunia bisnis mengikuti aturan ini, bahwa tidak perlu minta izin karyawan. Misal untuk penanaman modal, joint venture, perusahaan terbuka, go public, itu semua kebijakan perusahaan,” paparnya.
Jadi intinya, kata dia, restrukturisasi Pertamina dan IPO Subholding Pertamina sama sekali tidak melanggar atau bertentangan dengan Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan serta UU Perseroan Terbatas (PT).
Menurutnya, UU Ketenagakerjaan hanya mengatur mengenai peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, kondisi perusahaan, perubahan, jam kerja, dan hak cuti. “Tidak satupun pasal yang menyebut bahwa perusahaan wajib berbicara dengan karyawan terkait restrukturisasi,” katanya dalam pesan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Dengan demikian, kata dia, jika ada karyawan yang tidak setuju dengan restrukturisasi perusahaan, lanjut dia, maka Pertamina bisa menginformasikan kepada karyawan mengenai dua pilihan yakni, apakah akan ikut kebijakan mengenai restrukturisasi atau tidak. Jika bersedia, harus ikut kebijakan tersebut.
“Jika tidak, maka karyawan tersebut harus mundur. Dalam hal ini Pertamina akan memberi pesangon. Tetapi dalam kasus ini, sesuai UU Ketenagakerjaan, Pertamina hanya memberi satu kali peraturan,” pungkasnya.(Red)