Analisis Nikel Macquarie, Ini Kata Asosiasi Penambang Nikel Indonesia

Jakarta, Ruangenergi.comAsosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan bahwa beberapa poin penting dari publikasi Macquarie, harga nikel London Metal Exchange (LME) mengalami koreksi tajam (12.20%) pada sesi perdagangan minggu lalu.

Menurut, Sekertaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey, setelah sebelumnya sempat menyentuh level US$ 20,110 per ton pada 22 Februari 2021, harga nikel terkoreksi signifikan dan menutup perdagangan, Jumat, 5 Maret 2021 di level US$ 16,375 per ton.

“Faktor utama pendorong koreksi signifikan ini adalah pengumuman dari Tsingshan Holding Group, produsen nikel dan stainless steel terbesar di dunia, bahwa mereka telah menandatangani perjanjian untuk menyuplai 100,000 ton nickel matte (setara dengan 75,000 ton nikel) ke Huayou Cobalt (60,000 ton nickel matte) dan CNGR Advanced Material Co. Ltd (40,000 ton nickel matte), dimulai pada Oktober 2021,” jelas Meidy, (14/03).

Ia menambahkan, hal yang sangat menarik perhatian dan mengejutkan bagi para pelaku pasar adalah bahwa nickel matte yang akan disuplai oleh Tsingshan akan dikonversi dari nickel pig iron (NPI), produk yang sebelumnya hanya dijual ke industri stainless steel.

Dikemukakan olehnya, menurut Macquarie, langkah yang dilakukan Tsingshan ini merupakan sesuatu yang telah diperkirakan dan diperlukan untuk mencukupi kebutuhan nikel global, terutama dengan adanya pertumbuhan nyata dari industri kendaraan listrik (EV).

“Di sisi lain, hal ini berpotensi menimbulkan sentimen negatif berupa surplus jangka pendek dari NPI dan nikel sulfat,” imbuhnya.

Meidy melanjutkan, Tsinghan mengungkapkan rencana untuk meningkatkan produksi mereka dari 600,000 ton nikel di tahun 2021 hingga mencapai 1.1 juta ton nikel pada tahun 2023.

Menurutnya, angka produksi yang masif ini memperkuat potensi over-supply untuk nikel selama beberapa tahun ke depan sebelum terjadi defisit yang berarti.

Dijelaskan oleh Meidy, menurut Macquarie, pasar nikel sudah berada dalam kondisi over-supply sejak akhir 2020 dan ada jurang yang melebar antara pasar NPI yang berada dalam kondisi over-supply dengan pasar nikel sulfat yang ketat.

“Selama ini, kita mengetahui bahwa NPI termasuk produk nikel kelas 2 dan nikel sulfat merupakan produk nikel kelas 1. Nikel kelas 1 dan nikel kelas 2 diproduksi dengan cara yang berbeda dan sebelumnya dianggap berada dalam pasar yang independen satu sama lain,” tuturnya.

Meidy mengemukakan, Tsingshan, yang merencanakan untuk memproduksi nickel matte di PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) dengan mengkonversi lini produksi NPI yang sudah ada mematahkan pandangan lama dan membuka peluang terjadinya konvergensi pasar produk nikel kelas 1 dan kelas 2.

“Tsingshan telah memulai percobaan produksi nickel matte pada Juli 2020 dan berhasil menyelesaikan proses uji coba produksi tersebut pada akhir tahun 2020. Nickel matte tersebut diduga akan diproses lebih lanjut di China melalui proses leaching dengan menggunakan asam sulfat untuk menghasilkan nikel sulfat,” paparnya.

Dibandingkan dengan NPI, saat ini produksi nikel sulfat global masih sangat terbatas dan ada kekhawatiran yang semakin berkembang akan kekurangan ketersediaan nikel sulfat di pasar karena tertundanya produksi MHP dan nikel sulfat dari beberapa proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sedang dikembangkan.

Proses HPAL sendiri terkenal sangat kompleks dan kerap kali mengalami tantangan dari segi teknikal dan dampak lingkungan.

Dengan munculnya berita tentang inovasi teknologi Tsingshan yang mampu mengkonversi lini produksi NPI mereka untuk menghasilkan nickel matte, yang dimana nickel matte tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi nikel sulfat, tercipta sentimen bahwa supply nikel sulfat mungkin tidak seketat yang sebelumnya diperkirakan, bahkan bisa saja pasar nikel sulfat mengalami over-supply selama beberapa tahun karena permintaan dari industri EV (Electric Vehicle) yang masih berada pada tahap awal pertumbuhannya mungkin belum bisa menyerap seluruh produksi nikel sulfat.

 

Teknologi Konversi Tsingshan

Meidy menjelaskan, menurut Macquarie, dibutuhkan tambahan biaya sekitar US$ 1,000 per ton untuk mengkonversi NPI ke nickel matte dan harga jual nickel matte saat ini sama atau lebih rendah dari NPI.

Sementara itu, lanjutnya, untuk dapat mengkonversi NPI ke nikel sulfat, estimasi total tambahan biaya yang diperlukan sekitar US$ 3,000 – US$ 3,500 per ton. Saat ini NPI dijual dengan harga yang lebih rendah sekitar US$ 2,500 – US$ 3,000 per ton dari harga nikel LME.

Berbeda dengan NPI, pemulihan penjualan EV yang signifikan membantu meningkatkan permintaan nikel sulfat dan juga harga produk tersebut. Saat ini, nikel sulfat dijual sekitar US$ 3,500 – US$ 4,000 lebih tinggi dari harga nikel LME.

“Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa selisih harga NPI dan nikel sulfat saat ini lebih besar dari biaya konversi NPI ke nikel sulfat. Harga jual nickel matte yang sama atau lebih rendah dari NPI dan biaya tambahan yang diperlukan untuk mengkonversi NPI ke nickel matte menjadikan langkah Tsingshan ini sebenarnya merugikan perusahaan, karena margin keuntungan yang menurun. Bagi para produsen bahan baku baterai EV, pembelian nickel matte dari Tsingshan masih cukup menguntungkan,” bebernya.

Meidy kembali melanjutkan, rencana peningkatan produksi NPI yang masif di Indonesia diprediksi akan menimbulkan kondisi over-supply yang signifikan sehingga Tsinghan mungkin berpikir bahwa akan lebih baik untuk mengkonversi sebagian NPI yang diproduksinya menjadi nickel matte dan menjualnya ke pasar baterai EV yang berkembang pesat daripada menimbun NPI.

Saat ini, cash cost Tsingshan untuk memproduksi NPI di IMIP berada di sekitar US$ 7,500 – US$ 8,000 per ton nikel.

 

Cara Lain Produksi Nikel Sulfat

Meidy menjelaskan, nikel sulfat juga dapat diproduksi dengan melarutkan briket nikel murni dalam larutan asam sulfat. Proses ini membutuhkan biaya sekitar US$ 1,000 per ton, sehingga juga masih ekonomis.

Stok nikel LME untuk briket nikel masih cukup tinggi (sekitar 210,000 ton nikel). Meskipun demikian, saat ini tidak terdapat kapasitas lebih untuk mengkonversi briket dan bubuk nikel menjadi nikel sulfat. Peningkatan permintaan nikel sulfat dari industri EV menyebabkan timbulnya defisit produk tersebut di pasaran dan oleh karena itu, meningkatkan rasa urgensi untuk menemukan sumber alternatif bahan baku lain.

“Hadirnya NPI/matte sebagai sumber alternatif bahan baku nikel sulfat merupakan hal yang bearish untuk harga nikel LME. Macquarie memprediksi bahwa akan ada lebih banyak produsen NPI dan ferronickel (FeNi) yang akan memasang alat konversi NPI ke nickel matte untuk mengeksploitasi arbitrase antara harga NPI/FeNi, LME dan nikel sulfat. Hal ini akan mengurangi kesenjangan antara apa yang disebut dengan nikel kelas 2 (NPI/FeNi) and nikel kelas 1 (logam dan sulfat),” imbuhnya.

 

Rencana Tsingshan tingkatkan kapasitas produksi secara signifikan

Bagi Macquarie, kata Meidy, rencana Tsingshan untuk meningkatkan produksinya dari 600,000 ton nikel pada tahun 2021, lalu ke 850,000 ton nikel pada 2022 dan 1.1 juta ton nikel pada 2023 merupakan kabar yang sangat mengejutkan.

Sebelumnya Macquarie memprediksi angka produksi Tsingshan di 597,000 ton nikel pada tahun 2021, 660,000 ton nikel pada 2022 dan 680,000 ton nikel pada 2023.

“Jika Tsingshan benar-benar merealisasikan angka produksi tersebut, hal itu akan sangat bearish untuk keseimbangan pasar nikel di tahun 2022 dan 2023,” katanya.

Estimasi keseimbangan permintaan dan produksi nikel global menggunakan rencana produksi baru tsingshan (dalam ton nikel), di antaranya :

– Tahun 2020: surplus 103,000 ton (sebelumnya 103,000 ton)
– Tahun 2021: surplus 38,000 ton (sebelumnya 38,000 ton)
– Tahun 2022: surplus 235,000 ton (sebelumnya 35,000 ton)
– Tahun 2023: surplus 350,000 ton (sebelumnya defisit 1 ton)

Lebih jauh, Meidy, menerangkan, kondisi pasar nikel yang mengalami surplus akan mendorong harga nikel untuk turun, menyebabkan ditutupnya beberapa pabrik pemrosesan nikel yang berbiaya besar di China serta kemungkinan melambatnya peningkatan kapasitas produksi di beberapa proyek nikel di Indonesia.

Menurut Macquarie, harga nikel perlu berada di bawah US$ 15,000 per ton untuk mendorong pemberhentian operasi beberapa pabrik pemrosesan nikel di China.

Saat ini Macquarie memprediksi produksi NPI China turun ke 360,000 ton di tahun ini, lebih rendah dibandingkan dengan angka realisasi produksi sebesar 503,000 ton di tahun lalu. Angka produksi kemudian diprediksi kembali turun ke 325,000 ton pada 2022 dan 2023.

“Kombinasi angka produksi Tsingshan yang lebih tinggi dan regulasi polusi karbon yang lebih ketat di China diprediksi dapat menurunkan kapasitas produksi China sekitar 100,000 – 200,000 ton,” tuturnya lagi.

Inovasi teknologi Tsingshan

Produksi NPI di Indonesia membutuhkan sekitar 25,000 kWh listrik untuk menghasilkan 1 ton nikel terkandung dan semua listrik tersebut dihasilkan dari pembakaran batubara (sama seperti di China). Saat ini kesadaran akan keberlangsungan lingkungan semakin meningkat.

Banyak perusahaan produsen nikel, baik yang sudah beroperasi maupun potensial, berusaha untuk membuat pemrosesan mereka lebih ramah lingkungan dan menggembar-gemborkan hal ini sebagai keunggulan utama dari produk mereka.

“Pada kenyataannya, tidak cukup banyak tersedia nikel yang ramah lingkungan untuk mencukupi proyeksi permintaan hingga 5-10 tahun kedepan. Para produsen EV China bersedia untuk menggunakan produk ini sampai alternatif yang lebih baik hadir di pasar. Langkah terbaru Elon Musk, CEO dari Tesla, untuk mengganti baterai yang digunakan pada beberapa model mobil Tesla menjadi lithium-iron-phosphate (LFP) dari sebelumnya nickel-cobalt-manganese (NCM) atau nickel-cobalt-aluminum (NCA) menunjukkan kekhawatiran nyata perusahaan seperti Tesla atas ketersediaan nikel di masa depan,” paparnya.

“Baterai yang menggunakan nikel memperoleh keuntungan dari tingkat kepadatan energi (energy density) yang lebih tinggi dibandingkan alternatif lain, sehingga memungkinkan jarak tempuh yang lebih jauh. Teknologi baterai yang memiliki kandungan nikel yang tinggi diprediksi untuk tetap menjadi teknologi yang dominan di masa depan. Meskipun demikian, industri nikel juga sadar bahwa ada beberapa alternatif yang sedang dikembangkan” tandas Meidy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *