Jakarta, Ruangenergi.com – Peningkatan volume kendaraan yang terjadi tidak bisa ditekan, sebab hal tersebut seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan para penggunaannya.
Adanya demand yang tinggi terhadap sesuatu hal membuat para produsen berlomba menciptakan pilihan bagi masyarakat untuk memilikinya.
Akan tetapi, jika hal tersebut tidak dilakukan dengan teknologi yang terbaru, tentunya akan menimbulkan masalah yang cukup serius untuk lingkungan. Seperti halnya polusi yang dihasilkan dari sisa pembakaran mesin.
Disini lah peran pemerintah yang sangat penting. Guna menekan itu semua bahkan dapat men-zero-kan polusi udara dari sisa pembakaran mesin melalui bahan bakar.
Lantas bahan bakar yang seperti apa yang dapat men-zero-kan polusi udara?
Bahan bakar yang dikatakan dapat mengurangi jumlah polusi yakni, bahan bakar sifatnya bersih, alias berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti kelapa sawit.
Lalu, bagaimana dengan bahan bakar yang berasal dari minyak mentah (Crude Oil), yang hingga saat ini menjadi primadona seluruh kendaraan.
Untuk itu, Pemerintah kembali mengambil peran untuk dapat melakukan pengujian terhadap bahan bakar yang berasal dari tumbuhan dan kemudian dicampurkan dengan minyak bumi.
Seperti halnya saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tengah melakukan serangkaian uji karakteristik pencampuran bahan bakar yang berasal dari minyak mentah dengan minyak kelapa sawit (Palm Oil), yang pada nantinya untuk digunakan pada kendaraan bermotor bermesin diesel.
Uji tersebut dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”, dengan metode pengujian 1.000 jam pada engine test bench.
Adalah bahan bakar nabati (BBN) Biodiesel B40. Ada dua jenis formulasi B40 yang dilakukan pengujian, pertama yakni dilakukan pencampuran 60% BBM Solar dengan 40% Fatty Acid Methyl Esther (FAME). Kedua yakni 30% FAME dan 10% Distillated Fatty Acid Methyl Esther (DPME), campuran 60% minyak Solar.
Menurut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, pengujian B40 ini merupakan terusan dari keberhasilan pemerintah pada tahun lalu (2019) menerapkan Biodiesel 30%.
Sebelumnya, Pemerintah telah meresmikan penggunaan biodiesel B30 (campuran 30% minyak sawit dan 70% solar), untuk kendaraan bermesin diesel.
Saat ini Balitbang tidak melakukan uji jalan B40 seperti yang dilakukan penerapan B30, dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan yaitu pandemi Virus Corona (Covid-2019).
“Tahap pengujian akan selesai di akhir tahun, tapi mungkin November kita mulai melakukan analisis lengkap semua. Untuk sementara kita tidak akan melakukan uji jalan di jalan raya, agak takut keluar (kondisi sedang Pandemi Covid-19). Jadi kita mencari cara lain bagaimana ini tetap berjalan,” terang Dadan, kepada media, (30/08).
Sementara, Ketua Tim Pengkajian B40, Sylvia Ayu Bethari, mengungkapkan, pengujian B40 sedang tahap 1.000 jam engine test bench di Komplek Litbang LEMIGAS.
Dalam melakukan pengujian tersebut, lanjut Sylvia, Lemigas menggandeng Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Ikabi (Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia) serta Asosiais Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), dan stakeholder terkait.
“Pasokan Biodiesel dan DPME diperoleh atas dukungan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, HVO diperoleh dari PT Pertamina (Persero),” tuturnya saat dihubungi ruangenergi.com.
Hingga saat ini masih dilakukan pengujian, pihak belum dapat berkomentar mengenai, boros atau tidaknya bahan bakar B40 tersebut.
“Masih dalam tahap uji, masih menunggu hasil uji dan evaluasi akhirnya,” tandas Sylvia.