Jakarta, ruangenergi.com – Di tengah meningkatnya kampanye penggunaan energi baru terbarukan dan kendaraan listrik (electric vehicle/EV), energi dari bahan bakar fosil diperkirakan masih akan tetap dominan. Hingga tahun 2045, konsumsi minyak dunia diproyeksikan meningkat mencapai 109-110 juta barel per hari, lebih tinggi sekitar 6-9 juta barel per hari dibandingkan konsumsi saat ini sebesar 101-103 juta barel per hari.
“Ketergantungan dunia terhadap minyak bumi masih akan terus meningkat meskipun populasi pengguna EV bertambah. Penggunaan EV hanya akan mengurangi konsumsi minyak bumi sekitar 6 juta barel per hari,” jelas Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM periode 2016-2019, dalam acara QSight, “Outlook Energi 2025 dan Kemandirian Energi Indonesia” di Q Space Jakarta, Rabu (30/10).
Arcandra menyampaikan bahwa harga minyak di masa depan sulit dipastikan karena dipengaruhi oleh biaya produksi dan kepentingan bisnis dari produsen minyak utama dunia, yaitu Amerika Serikat (AS), Arab Saudi, dan Rusia. Atas dasar itu, ia memperkirakan harga minyak akan berada di kisaran USD 70-90 per barel.
Menurutnya, di Amerika Serikat, biaya produksi minyak (shale oil) sekitar USD 50 per barel, sehingga harga akan dijaga di atas level USD 70 per barel. Namun, AS juga berkepentingan agar harga minyak tidak melebihi USD 100 per barel karena harga yang terlalu tinggi akan berdampak negatif pada perekonomian AS.
Sementara itu, Arab Saudi dengan biaya produksi sekitar USD 10-20 per barel, berkepentingan untuk menjual minyak dengan harga tinggi karena negara ini memberikan subsidi atas harga minyak di dalam negeri. Namun, kepentingan Arab Saudi tersebut harus berkompromi dengan kebijakan AS yang ingin menjaga harga minyak dunia tetap terkendali.
Inilah alasan perusahaan-perusahaan minyak dunia tetap melanjutkan eksplorasi untuk menambah cadangan minyak mereka. Misalnya, reserve replacement ratio (RRR) Shell pada tahun 2022 mencapai 120%, artinya cadangan yang ditemukan 20% lebih banyak daripada jumlah minyak yang diproduksi.
Arcandra juga mengungkapkan bahwa negara-negara besar masih akan terus mengonsumsi batubara sebagai sumber utama energi, seperti China, India, dan Jepang yang merupakan konsumen batubara terbesar di dunia. Dari total konsumsi batubara sekitar 8.000 juta ton per tahun, China mengonsumsi lebih dari 4.200 juta ton, India sekitar 1.200 juta ton, dan Jepang mencapai 175 juta ton per tahun.
“Untuk mengimbangi narasi penurunan emisi karbon, China juga membangun energi baru terbarukan dari tenaga surya dan angin. Namun, pasokan listrik China tetap didominasi oleh batubara karena harganya yang paling efisien. Hal yang sama terjadi di negara-negara lain seperti India, Jepang, dan belakangan ini Vietnam,” ungkapnya.
Kebutuhan Energi Dalam Negeri
Di dalam negeri, Arcandra menyampaikan bahwa konsumsi batubara domestik sekitar 140-150 juta ton per tahun. Sebagian besar produksi batubara Indonesia diekspor ke negara-negara pengguna PLTU terbesar di dunia, seperti China, India, dan Vietnam. Saat ini, Indonesia merupakan eksportir batubara terbesar di dunia dengan volume ekspor sekitar 500-600 juta ton per tahun, mengalahkan Australia yang mengekspor sekitar 200 juta ton per tahun.
Dengan populasi mencapai 280 juta penduduk, kebutuhan energi Indonesia ke depan akan terus meningkat. Sementara itu, pemenuhan energi domestik masih sangat bergantung pada impor, terutama minyak bumi dengan konsumsi 1,4 juta barel per hari. Indonesia kini mengimpor sekitar 1 juta barel per hari dalam bentuk minyak mentah dan BBM karena produksi dalam negeri terus menurun.
Selama periode 2016-2019, saat menjabat sebagai Wakil Menteri ESDM, bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan, Kementerian ESDM melakukan lelang dan perpanjangan terhadap 30 blok migas dengan skema gross split. Dalam skema ini, setiap pemenang lelang memiliki kewajiban menyediakan dana eksplorasi atau Komitmen Kerja Pasti.
Besaran dana Komitmen Kerja Pasti ini berbeda di setiap blok, tergantung pada signature bonus yang diberikan oleh pemenang lelang. Dari blok-blok yang diperpanjang dan dilelang, terkumpul dana komitmen kerja pasti sekitar USD 2,7 miliar untuk jangka waktu 5 tahun. Jika dana tersebut tidak digunakan untuk eksplorasi, maka akan menjadi milik pemerintah.
“Biaya eksplorasi tersebut penting untuk memastikan bahwa pemenang lelang segera melakukan eksplorasi sehingga Indonesia mendapat kepastian produksi dan cadangan migas ke depan. Sebelum ketentuan itu diberlakukan, dana eksplorasi migas yang disediakan pemerintah hanya sekitar USD 5 juta per tahun, yang tentu tidak mencukupi,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk menciptakan kemandirian energi dalam negeri, eksplorasi dan produksi minyak harus terus ditingkatkan. Selain produksi minyak yang menurun, produksi gas bumi domestik juga tidak meningkat. Padahal dengan kebutuhan gas, terutama LNG, yang terus meningkat, pada tahun 2030 diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan sekitar 70 juta metrik ton per tahun (mmtpa).
“Jika produksi LNG Blok Masela sekitar 9,5 mmtpa, maka kekurangan suplai LNG dunia di tahun 2030 sekitar 7 kali produksi Masela. Jadi, kita masih sangat tergantung pada energi fosil. Narasi bahwa industri energi fosil akan mengalami ‘sunset’ berbahaya dan tidak tepat,” tegasnya.