Jakarta,ruangenergi.com–Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG menyampaikan pandangan iklim tahun 2023 (Climate Outlook 2023) bahwa sepanjang tahun 2023, gangguan iklim dari Samudra Pasifik yaitu ENSO diprakirakan akan berada pada fase netral, tidak terjadi La Nina yang merupakan pemicu anomali iklim basah maupun El Nino yang merupakan pemicu anomali iklim kering.
Demikian juga dengan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) yang merupakan gangguan iklim dari Samudra Hindia, diprediksi akan berada pada fase netral pada tahun 2023.
Berdasarkan Climate Outlook 2023 yang diterbitkan BMKG, beberapa wilayah yang diprediksikan berpotensi mendapatkan curah hujan tahunan yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 2500 mm/tahun, terjadi di wilayah Sumatra utamanya sekitar pegunungan Bukit Barisan, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatra Selatan, sebagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian besar Kalimantan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian besar Sulawesi Selatan, dan sebagian besar Papua.
Adapun daerah yang diprediksikan dapat mengalami hujan tahunan di atas normal adalah sebagian kecil Jambi bagian selatan, sebagian kecil Jawa Barat bagian utara, sebagian kecil Jawa Timur bagian timur, sebagian kecil Kalimantan Timur bagian selatan, sebagian kecil Bali bagian utara, sebagian NTB, dan sebagian kecil Sulawesi Tengah bagian timur.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati meminta pemerintah, semua pihak terkait dan masyarakat juga perlu mewaspadai potensi bencana hidrometeorologi kering di sejumlah wilayah Indonesia, akibat curah hujan di bawah normal yang dapat memicu kekeringan dan dampak lanjutannya berupa kebakaran hutan dan lahan. Daerah yang diprediksikan dapat mengalami hujan tahunan di bawah normal adalah sebagian kecil Papua Barat bagian timur dan sebagian kecil Papua bagian utara.
Sedangkan, wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan dan kebakaran lahan dan hutan selama periode kemarau yang normal di tahun 2023, umumnya terjadi di wilayah Riau, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, sebagian Kalimantan khususnya bagian barat, tengah dan selatan, serta sebagian Sulawesi Selatan, Jawa Barat bagian utara, Jawa Tengah bagian selatan, Jawa Timur bagian timur, Bali Utara, sebagian Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
BMKG mengingatkan semua pihak perlu mewaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan di tahun 2023 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2020, 2021 maupun 2022 yang kemaraunya bersifat basah.
BMKG juga menyampaikan bahwa suhu pada tahun 2023 diprediksi lebih hangat dibanding rata-ratanya. Meski demikian, kemungkinan terjadinya fenomena helombang panas (heatwave) di wilayah Indonesia sangat kecil. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia dikelilingi oleh lautan yang lebih luas dari luas daratan dan memiliki kelembaban udara tinggi yang dapat berperan sebagai “radiator” atau pendingin, sehingga sangat sulit terjadi heatwave di wilayah kepulauan Indonesia.
Gelombang panas merupakan fenomena aliran udara panas yang berkepanjangan selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut, dimana suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5°C atau lebih. Fenomena ini terjadi karena adanya udara panas yang terperangkap di suatu wilayah, akibat adanya anomali dinamika atmosfer yang mengakibatkan aliran udara tidak bergerak dalam skala yang luas.
Anomali cuaca yang terjadi saat ini di Indonesia, patut menjadi perhatian khusus oleh para penambang batubara,kenapa? Karena adanya self combustion di lahan tambang batubara.
Self combustion atau pembakaran spontan pada batubara terjadi ketika batubara mengalami proses oksidasi yang berkepanjangan atau terus menerus, yang menghasilkan panas secara internal dan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran. Proses ini biasanya terjadi ketika batubara terpapar udara dan suhu lingkungan yang cukup tinggi.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan self combustion batubara antara lain:
- Kadar Air yang Rendah: Batubara dengan kadar air yang rendah atau kering lebih rentan terhadap self combustion. Kadar air yang rendah membuat batubara lebih mudah teroksidasi dan menghasilkan panas secara internal.
- Kandungan Volatile Matter yang Tinggi: Batubara dengan kandungan volatile matter yang tinggi menghasilkan lebih banyak gas yang mudah terbakar. Jika batubara tersebut teroksidasi secara bertahap, gas yang terbentuk dapat menyebabkan proses pembakaran yang lebih intens.
- Ukuran Butiran yang Kecil: Batubara dengan ukuran butiran yang kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar, memungkinkan reaksi oksidasi terjadi dengan lebih efisien. Hal ini dapat meningkatkan risiko self combustion.
- Tumpukan Batubara yang Besar: Jika batubara ditumpuk dalam jumlah yang besar, proses oksidasi dapat terjadi secara tertutup dan memicu self combustion. Tumpukan yang terlalu padat dapat menyebabkan akumulasi panas yang tidak dapat terbuang, sehingga meningkatkan risiko kebakaran.
- Kehadiran Material yang Mudah Terbakar: Bahan-bahan seperti minyak, pelumas, atau material organik lainnya yang tercampur dengan batubara dapat meningkatkan risiko self combustion.
Untuk mencegah self combustion pada batubara, langkah-langkah yang dapat diambil antara lain:
- Pengendalian Kadar Air: Memastikan batubara memiliki kadar air yang cukup, yang dapat mengurangi risiko oksidasi dan pembakaran spontan.
- Pengawasan Suhu: Memantau suhu lingkungan di sekitar tumpukan batubara untuk mendeteksi peningkatan suhu yang tidak wajar yang dapat menandakan adanya self combustion.
- Pengaturan Ventilasi: Memastikan ventilasi yang cukup di area penyimpanan batubara untuk menghindari penumpukan gas-gas yang mudah terbakar.
- Penanganan yang Tepat: Menghindari kontak batubara dengan bahan-bahan yang mudah terbakar, serta menyimpan dan menangani batubara dengan cara yang aman dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Penting untuk memperhatikan dan menerapkan langkah-langkah pengendalian risiko yang tepat dalam penanganan, penyimpanan, dan transportasi batubara guna mencegah terjadinya self combustion yang dapat berpotensi menyebabkan kebakaran atau ledakan yang merugikan.
Yang perlu diwaspadai juga adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor alami maupun faktor manusia. Berikut adalah beberapa penyebab umum kebakaran hutan:
- Aktivitas Manusia: Aktivitas manusia merupakan penyebab utama kebakaran hutan di banyak kasus. Ini bisa termasuk pembakaran hutan untuk penebangan liar, pembukaan lahan pertanian, pembakaran sampah, atau aktivitas pembakaran lainnya yang tidak terkendali.
- Pemanasan Global: Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan. Peningkatan suhu dan kurangnya curah hujan dapat membuat hutan menjadi lebih kering, meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran.
- Petir: Petir sering menjadi penyebab kebakaran hutan alami. Saat petir menyambar, bisa menyebabkan api langsung terjadi di hutan yang kering.
- Aktivitas Pertanian: Beberapa kebakaran hutan dapat disebabkan oleh aktivitas pertanian, seperti pembakaran lahan untuk perkebunan, terutama dalam praktik tradisional yang tidak terkontrol dengan baik.
- Kelalaian atau Kesalahan Manusia: Kebakaran hutan juga dapat disebabkan oleh kelalaian manusia, seperti meninggalkan api terbuka, mengabaikan peringatan bahaya kebakaran, atau buang puntung rokok sembarangan.
- Perubahan Alam: Beberapa kebakaran hutan dapat terjadi sebagai bagian dari siklus alami, seperti pembaruan vegetasi atau pembukaan kulit kayu keras dalam ekosistem tertentu.
Pencegahan kebakaran hutan melibatkan berbagai upaya, termasuk pemantauan dan patroli, edukasi masyarakat, penerapan hukum dan peraturan yang ketat, serta langkah-langkah pencegahan seperti pengaturan pembakaran terkontrol, pembuatan pematang api, dan penanaman vegetasi yang tahan api. Selain itu, perubahan perilaku manusia dalam memperlakukan dan menjaga lingkungan juga penting untuk mengurangi risiko kebakaran hutan.
Jangan sampai akibat anomali cuaca yang melanda Indonesia, tidak diantisipasi oleh para pelaku tambang maupun migas serta ketenagalistrikan. Jangan sampai menyalahkan petir yang menyambar, hutan yang terbakar, banjir yang menerjang mengganggu kegiatan operasi produksi di tambang, migas dan ketenagalistrikan.
Godang Sitompul, Pemimpin Redaksi