China Kuasai Dunia, Indonesia Masih Tidur Dalam Pemanfaatan Rare Earth Element

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Muntok, Bangka Belitung, ruangenergi.com-Logam tanah jarang atau Rare Earth Element (REE) kerap terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat. Namun, di balik namanya yang sederhana, REE sesungguhnya adalah salah satu kunci utama teknologi masa depan. Terdiri dari 17 unsur kimia, terutama kelompok lantanida, ditambah skandium (Sc) dan yttrium (Y), material ini menjadi fondasi bagi berbagai inovasi canggih yang saat ini digunakan manusia.

“LTJ cukup melimpah jumlahnya di kerak bumi. Ia banyak dipakai untuk memperkuat baja, superalloy, hingga stainless steel,” kata Prof. Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri ESDM (2000–2009) sekaligus Guru Besar Tetap ITB bercerita kepada ruangenergi.com.

Namun, kegunaan LTJ tidak berhenti pada logam. Unsur ini juga hadir di hampir semua perangkat teknologi tinggi: dari komputer, sensor canggih, sistem kelistrikan mikro, baterai, telekomunikasi, satelit, hingga bahan baku mesin jet. Bahkan di sektor pertahanan, REE menjadi komoditas vital.

Purnomo memberi contoh, satu jet tempur generasi kelima F-35 membutuhkan 417 kilogram REE untuk sistem tenaga listrik dan magnetnya. Kapal selam nuklir USS Virginia butuh lebih dari 4 ton REE untuk memperkuat bodinya, sementara kapal perusak rudal kelas Arleigh Burke memerlukan sekitar 2,3 ton REE. “Artinya, tanpa LTJ, alutsista modern sulit diwujudkan,” ujarnya.

China Kuasai Dunia, Indonesia Masih Tidur

Sayangnya, dominasi REE dunia saat ini dikuasai China. Hasil penelusuran ruangenergi.com, pada 2020, negeri Tirai Bambu ini memproduksi 140 ribu metrik ton, setara 83% produksi global. China juga menguasai cadangan terbesar dunia, yakni 44 juta ton, dan tak segan menjadikan REE sebagai senjata geopolitik menghadapi Amerika Serikat.Monazite

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Potensinya ada, tapi belum tergarap. Badan Geologi ESDM mencatat, endapan REE di Indonesia terbagi dua jenis: plaser dan lateritik. Di Bangka, melalui kajian 2014, bahkan ditemukan indikasi sekitar 52 ribu ton REE pada tailing mineral timah. Sayangnya, hingga kini belum ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) khusus untuk REE, meski regulasinya sudah diatur dalam PP No. 23 Tahun 2010.

“Dengan adanya potensi LTJ di Indonesia, bukan tidak mungkin kita juga bisa memiliki peran geopolitik di masa depan. Tantangannya adalah bagaimana mencari investor dan membangun ekosistem pemanfaatannya,” ujar Purnomo.

Dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-1 Tahun Sidang 2025/2026 dan Penyampaian RAPBN Tahun Anggaran 2026, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengaku bersyukur Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang melimpah khususnya LTJ. Menurutnya, LTJ merupakan mineral penting dan tidak semua negara memilikinya.

“Kita memiliki semua rare earth yang ada di dunia kita miliki dan rare earth ini vital untuk kehidupan teknologi tinggi, untuk kehidupan modern, dan juga untuk pertahanan modern,” ucap Prabowo, Jumat (15/8/2025).

Kendati demikian, potensi LTJ ini masih belum termanfaatkan. Untuk itu, Prabowo ingin menciptakan sumber daya manusia yang unggul demi mengelola potensi mineral tersebut.

“Kita harus menciptakan sumber daya manusia yang unggul agar semua sumber daya alam kita bisa kita manfaatkan secepat-cepatnya,” ungkapnya.

Menyentuh Langsung Calon Harta Karun

Potensi itu bukan sekadar data di atas kertas. Tim Ruangenergi.com berkesempatan melihat langsung bagaimana mineral pembawa REE diolah di unit pengolahan mineral milik PT Timah Tbk di Muntok, Bangka Belitung.

Di sana, tumpukan pasir hitam yang sekilas tampak biasa ternyata menyimpan nilai luar biasa. Mineral-mineral seperti monasit, ilmenit, dan zirkon dapat dilihat secara kasat mata, bahkan sempat kami pegang langsung. Monasit, salah satu pembawa utama unsur tanah jarang, tampak seperti butiran pasir berwarna cokelat keemasan. Ilmenit berkilau gelap dengan rona metalik, sedangkan zirkon memantulkan cahaya dengan bening menyerupai kristal.

Momen sederhana itu menyadarkan, betapa Indonesia sesungguhnya memiliki “harta karun” di tanahnya. Hanya saja, potensi itu masih menunggu sentuhan teknologi, regulasi, dan investasi agar bisa bernilai ekonomi tinggi.

Perlahan Bergerak, Tapi Banyak Pekerjaan Rumah

PT Timah Tbk menjadi salah satu BUMN yang mulai menaruh perhatian serius pada REE. Menurut Direktur Pengembangan Usaha PT Timah, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara, perusahaan sudah memulai tahap riset dan pilot project pengolahan REE dari monasit. Namun, proses ini tidak mudah.

“Riset tidak bisa sekali jadi. Ada persyaratan yang belum terpenuhi, misalnya kandungan tertentu yang harus berada di bawah 50 ppm, sementara hasil riset kita masih di atas itu,” jelas Suhendra.

Meski demikian, PT Timah sudah menyiapkan pilot plant dan menjajaki kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk ITB, Pindad, hingga BUMN lain. “Selagi masih ada penambangan timah, potensi REE juga masih ada. Ini tinggal bagaimana kita mengolahnya dengan spek yang sesuai,” tambahnya.

PT Timah (Persero) Tbk. (TINS) mengaku masih mengalami tantangan dalam pemenuhan pasokan logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element (REE) sesuai spesifikasi. Perseroan tengah gencar melakukan riset untuk pilot proyek dalam mengembangkan industri tersebut.

LTJ terkandung dalam salah satu mineral ikutan timah, yakni monasit yang terdiri dari unsur dominan seperti cerium, lanthanum, neodymium, yttrium, dan praseodimium.

LTJ juga mengandung thorium yang dapat diolah menjadi sumber energi untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Direktur Pengembangan Usaha PT Timah Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara mengatakan hingga saat ini pengembangan LTJ bukan dari sisi kuantitas, melainkan kualitas mineral tersebut.

“Dari kuantitas bisa terpenuhi misalnya 50 kg untuk produksinya per hari, tetapi dari sisi tadi speknya terpenuhi apa tidak, ini yang menurut laporan jajaran di bawah saya masih belum,” kata Suhendra

Momentum yang Tidak Boleh Hilang

Di tengah ketegangan dagang AS–China, Indonesia sesungguhnya punya peluang strategis. Jika China benar-benar membatasi ekspor REE ke AS, celah pasar terbuka lebar. Indonesia bisa masuk, baik sebagai pemasok langsung maupun mitra industri teknologi pertahanan global.

Lebih dari itu, REE juga bisa menjadi penguat kemandirian industri pertahanan dalam negeri. Dengan memanfaatkan REE, Indonesia tidak hanya sekadar menjadi penonton, tetapi bisa naik kelas menjadi pemain penting dalam rantai pasok teknologi dunia.

“Momentum ini jangan sampai hilang. LTJ bukan hanya soal tambang, tapi soal kedaulatan teknologi dan pertahanan bangsa,” tegas Purnomo.

Dalam catatan ruangenergi.com, mineral mengandung unsur tanah jarang terdapat sebagai mineral ikutan pada komoditas utama terutama emas dan timah aluvial yang mempunyai peluang untuk diusahakan sebagai produk sampingan yang dapat memberikan nilai tambah dari seluruh potensi bahan galian.

Potensi endapan emas aluvial tersebut relatif melimpah dapat dijumpai tersebar di sebagian pulau-pulau besar di Indonesia.

Sedangkan pada Jalur Timah Asia Tenggara yang mengandung sebagian besar sumber daya timah dunia melewati wilayah Indonesia mulai dari Kepulauan Karimun, Singkep sampai Bangka dan Belitung merupakan potensi strategis yang dapat memberikan kontribusi besar kepada pembangunan nasional.

Potensi besar yang dapat dihasilkan dari komoditas unsur/logam tanah jarang khususnya dalam jangka panjang dimana teknologi terus berkembang pesat, memerlukan ketersediaan bahan tersebut.

Oleh karena itu pengelolaannya memerlukan berbagai pertimbangan yang tidak semata-mata keekonomian semata. Peluang jangka panjang dan untuk pemenuhan bahan industri teknologi tinggi yang akan dikembangkan di Indonesia, maka produk sampingan berupa mineral-mineral mengandung logam/unsur tanah jarang tersebut dapat dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan nasional, yang disimpan untuk alternatif.

Menanti BIM Atur REE dan Pemanfaatannya

Presiden Prabowo Subianto resmi melantik Brian Yuliarto sebagai Kepala Badan Industri Mineral dalam upacara kenegaraan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/8/2025), dikutip dari youtube Sekretariat Presiden.

Pelantikan ini menjadi sorotan, karena lembaga baru tersebut diyakini bakal memainkan peran kunci dalam strategi hilirisasi dan ketahanan energi Indonesia, meski hingga kini detail tugas dan kewenangannya masih misterius.

Keputusan pengangkatan Brian tertuang dalam Keppres No. 77/2025 tentang Penangkatan Kepala Badan Industri Mineral (BIM). Ia dilantik berbarengan dengan sejumlah pejabat tinggi lain, mulai dari Hakim Mahkamah Agung (MA), Kepala dan Wakil Kepala Badan Otorita Pantai Utara Jawa, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepala BNPT, hingga beberapa Duta Besar RI untuk negara sahabat.

Ketua Umum Masyarakat Ketahanan Energi Indonesia (MKEI), Awaf Wirajaya, menyambut baik inisiatif pembentukan BIM ini.

“Melihat latar belakang pendidikan beliau yang kuat di bidang sains dan teknologi, saya yakin industri mineral Indonesia akan semakin cepat perkembangannya,” ujarnya.

Kehadiran BIM dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan Presiden mencapai 8 persen. Selain itu, pemanfaatan LTJ juga sejalan dengan agenda strategis pemerintah, mulai dari ketahanan energi, penguatan pertahanan dan keamanan, hingga hilirisasi industri berbasis sumber daya alam.

“Tentunya kami dari MKEI mendukung penuh pembentukan lembaga ini. Harapannya, pemanfaatan LTJ dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia,” tutup Awaf.