Jakarta, ruangenergi- Direktur Utama Geo Dipa Energi Riki Firmanda Ibrahim dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Transisi Energi ke Panas Bumi” menyatakan, tantangan pengembangan panas bumi adalah harga EBT yang masih harus bersaing dengan pembangkit fosil, terbatasnya lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman dalam fase ksplorasi, banyak pengembangan yang belum memenuhi 5C (charakter, capacity, capital, condition dan collateral, risiko dalam masa eksplorasi sangat tinggi, trasparansi dan jangka waktu penerbitan izin dapat mempengaruhi keenomian proyek.
“Saya sampaikan untuk eksplorasi panas bumi itu risikonya tidak sebesar migas. Khusus di lapangan di Indonesia, termasuk yang baru, dari sisi resiko itu 40%, tidak begitu besar,” kata Riki, Kamis(29/7/21)
Lebih lanjut Riki menjelaskan, risiko eksplorasi itu harus sama definisinya dan harus diperbaharui definisinya yang lama seperti definisi di Migas.
Eksplorasi geothermal tidak boleh dilihat hanya sumur panas bumi sebatas 1-3 MW dalam kategori Risiko Eksplorasi namun harus dilihat secara keseluruhan.
Untuk pengembangan panas bumi harus dilakukan bertahap dan perusahaan yang terjun disana harus yang mempunyai visi dan misi jangka panjang. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan PLN, misalnya sudah melakukan 39-40 tahun untuk pengembangan panas bumi melalui PLTP Kamojang.
Oleh karena itu definisinya harus disepakati bersama kembali, jika tidak diperbaharui, pasti lembaga keuangan tidak menarik mendanai apalagi saat ini pemerintah sudah menyediakan pendanaan PISP, GEUDP dan GREM. Ini tidak lain memberikan peluang kepada sektor Panas Bumi.
“Jadi bagaimana caranya agar risiko eksplorasi itu jangan dilihat sebagai jangka pendek. Masih perlu kajian ulang untuk harga panas bumi, agar swasta bisa betul betul masuk ke panas bumi,” tambahnya
Riki menambahkan pemerintah sedang dalam keadaan dilema, ingin mengembangkan EBT dengan harga reliable, tapi disisi lain harus memberikan subsidi ke PLN. Untuk itu, pemerintah sedang memikirkan bagaimana jalan keluarnya, seperti ada biaya infrastruktur yang diturunkan dan lainnya.
“Tantangan panas bumi tidak dapat diselesaikan dengan cara cara bussiness as usual, dibutuhkan akselerasi pengembangan panas bumi untuk mengejar target bauran. Target kita bagaimana bisa mencapai tidak hanya 23%, tapi 50%,” pungkas Riki