Jakarta,ruangenergi.com– Sekretaris Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mempertanyakan dasar hitungan penerapan pajak karbon yang akan dikenakan untuk industri minyak dan gas, ketenagalistrikan maupun tambang mineral dan batubara.
Perlu dibuat aturan ataupun penetapan bagaimana cara menimbang karbon dioksida (CO2) agar bisa mengenakan pajak dari emisi karbon yang diterapkannya.
“Saya belum tahu bagaimana caranya nimbang gas CO2 yang terbang di udara? Gak keliatan mata juga jadi gimana cara nangkep dan nimbangnya ya?,” kata Djoko Siswanto sembari tersenyum kepada ruangenergi.com,Selasa (07/09/2021) di Jakarta.
Dalam catatan ruangenergi.com,pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai tahun depan. Tarif pajak karbon rencananya ditetapkan minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.
Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Adapun rencana pajak karbon ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Rencana ini tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama Komisi XI DPR RI, Senin (28/06/2021) lalu.
Di sisi lain,Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.