Jakarta, ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energi Watch, Daymas Arrangga menilai, langkah strategis yang telah dilakukan Inalum terkait hilirisasi dengan menciptakan ekosistem hulu-hilir saat ini sudah tepat. Dengan fokus pada pengembangan ekosistem hulu-hilir ini, maka semakin ke hilir, nilai tambahnya untuk Indonesia akan semakin besar.
“Misalnya PT Indonesia Aluminium Alloy. Perusahaan ini tak sekadar menjadi anak usaha PT Inalum, tetapi juga menjadi pelengkap ekosistem hilirisasi. Artinya, semakin ke hilir, nilai tambah yang dihasilkan Inalum melalui PT IAA akan semakin besar. Meski demikian, kita tidak bisa melihat ketika Inalum sudah melakukan sebuah langkah hilirisasi, maka hal tersebut akan secara otomatis membawa Inalum mencapai target hilirisasi yang diinginkan. Harus dilihat juga bagaimana dukungan pemerintah untuk membuat industri aluminium sampai ke produk akhir yang memang bisa langsung digunakan masyarakat,” terang Daymas melalui keterangan tertulis dikutip pada Senin (18/09/2023).
Ia juga mengapresiasi rencana pengembangan green energy atau energi hijau Inalum. Menurutnya, dengan menggunakan green energy, maka pasar (market) Inalum akan semakin besar di beberapa negara seperti di Eropa dan Asia. Saat ini, katanya, perkembangan industri telah mengarah kepada isu keberlanjutan di mana energi yang dipakai untuk proses hilirisasi juga menjadi perhatian utama.
“Ketika menggunakan green energy, ada nilai tambah lain yang membuat produk Inalum ini bisa lebih bersaing di pasaran. Memang saat ini belum terlihat, karena membuatuhkan biaya yang besar. Tapi kita bisa melihat bagaimana potensi green energy di Sumatera Utara yang melimpah. Potensi ini tentunya dapat dimanfaatkan Inalum,” pungkasnya.
Merujuk Booklet Tambang Bauksit 2020 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan bauksit sebanyak 1,2 miliar ton atau setara 4 persen cadangan bijih bauksit dunia yang mencapai 30,39 miliar ton. Pada 2019, produksi bijih bauksit Indonesia mencapai 16 juta ton. Bauksit dapat dimurnikan untuk memperoleh alumina dan dilebur untuk membuat aluminium. Diperlukan 2 ton-3 ton bauksit untuk menghasilkan satu ton alumina.
Keberadaan PT Inalum di Kuala Tanjung yang berada di tengah (diantara hulu dan hilir) bertugas sebagai pabrik yang memproduksi aluminium. Pabrik ini setiap harinya menghasilkan tiga produk aluminium untuk konsumsi industri dalam negeri yakni aluminium ingot, aluminium billet, dan aluminium alloy.
Aluminium ingot merupakan aluminium batangan yang biasanya akan dilebur ulang untuk dijadikan berbagai macam produk. Misalnya bahan material otomotif yaitu velg, hingga komoditas kemasan seperti kaleng makanan dan minuman. Setiap batang aluminium ingot dari Inalum memiliki berat 22,7 kg dengan 2 jenis kualitas produk yaitu 99,90 persen dan 99,70 persen. Produk ini juga telah terdaftar pada London Metal Exchange (LME) pada 23 September 1987.
Selanjutnya aluminium billet bentuknya mirip seperti pipa-pipa panjang dan dapat dipakai untuk bahan konstruksi bangunan. Sedangkan aluminium alloy yang menjadi turunan lainnya merupakan produk yang tinggal dilebur untuk dijadikan material lainnya.
Produk aluminium alloy milik Inalum memiliki berat kurang lebih 10 kg per batangnya, dengan panjang 730 mm. Pada praktiknya, ketiga produk Inalum ini dapat dijadikan velg hingga kerangka mobil, kerangka pesawat, dan komponen otomotif lainnya.
Terkait upgrading teknologi tungku dan optimalisasi smelter Kuala Tanjung, kata Mahyaruddin, ketersediaan listrik menjadi keharusan. Dalam hal ini, Inalum pun berkoordinasi dengan PLN untuk ketersediaan listrik yang optimal. Ketersediaan listrik menjadi faktor utama, apalagi proses peleburan tak bisa dilakukan tanpa listrik.