Energy Watch: Harga Pertalite dan Pertamax Perlu Disesuaikan

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan  menghimbau Pemerintah untuk memberikan kebebasan kepada PT Pertamina (Persero) untuk melakukan penyesuaian terhadap harga Pertalite dan Pertamax mengingat badan usaha swasta lain sudah beberapa kali menyesuaikan harga produk mereka.

Menurut dia, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia yang bahkan mencapai level tertinggi sejak Oktober 2014 dimana untuk jenis Brent di level U$ 88.70/ bbl dan WTI di level US$ 85.86/ bbl, maka sudah sepatutnya Pertamina diberikan keleluasaan untuk menyesuaikan harga BBM Umum mereka.

“Dengan membaiknya ekonomi global,   permintaan akan komoditas energi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, tetapi disisi lain pasokan masih terbatas. Sesuai dengan hukum ekonomi terkait pasokan dan permintaan, maka akan mengerek harga komoditas termasuk harga minyak dunia,” ujar Mamit di Jakarta, Senin (24/1/2022).

Mamit mengatakan, sebagai BBM umum, maka selisih harga Pertalite dan Pertamax harus ditanggung Pertamina, dan kondisi ini tentu saja menekan keuangan Pertamina khususnya Pertamina Patra Niaga sebagai sub holding Commercial and Trading. Padahal kata dia, saat ini harga BBM RON 90 di SPBU milik BP-AKR adalah Rp 12.500 per liter dan Ron 92 yang dijual oleh BP-AKR adalah Rp 12.860 per liter, SHELL Rp 12.040 per liter dan VIVO Rp 11.900 per liter.

“Bisa dilihat selisih harga untuk produk yang sama dengan produk Pertamina sangat jauh sekali dimana untuk RON 90 sebesar Rp 7.650 per liter atau selisih Rp 4.850 dengan harga jual BP-AKR dan RON 92 sebesar Rp 9.000 per liter atau selisih Rp 3000 per liter dengan produk BBM milik SPBU swasta,” papar Mamit.

Berdasarkan data, kata Mamit, sepanjang 2021 harga MOPS rata-rata sudah di atas US$ 80 per barel. Jika dihitung dengan formula harga sesuai KepMen ESDM 62/2020 maka selisih harga jual dengan keekonomian mencapai Rp 2.500 sampai Rp 3.500 per liter untuk BBM jenis Pertamax dan Pertalite. Dengan kondisi sepanjang 2021 penjualan BBM Pertalite adalah 47% dari penjualan BBM nasional dan Pertamax 11% dari penjualan nasional.

“Sementara penjualan BBM nasional berdasarkan data Pertamina sampai kuartal III/2021 sebesar 34 juta kiloliter (KL) dan prognosa saya sampai akhir 2021 sebesar 48 juta KL. Sehingga jika kita simulasikan dengan 47% dari 48 juta kiloliter, maka Pertalite menyumbang 22.5 juta KL dan Pertamax sebesar 5.3 juta KL dari penjualan nasional,” jelas Mamit.

“Kemudian kita kalikan dengan selisih harga dari kedua produk BBM tersebut, maka  bisa dihitung potensi nilai selisih yang harus ditanggung Pertamina. Hal ini bisa dipastikan membuat beban keuangan Pertamina Patra Niaga sangat berat, dampaknya adalah keuangan Pertamina saat dilakukan konsolidasi bisa terpukul cukup dalam,” lanjut dia.

Dia juga mengusulkan, jika pemerintah berat untuk menaikan harga Pertalite maka pemerintah harus merubah status BBM RON 90 menjadi BBM Penugasan sehingga Pertamina mendapatkan kompensasi.

“Perpres 117/2021 terutama dalam Pasal 3 Ayat (2) dimana mengatur jenis BBM Penugasan jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan. Dengan demikian, sangat memungkinkan RON 90 menjadi BBM Penugasan dan Pertamina mendapatkan kompensasi,” katanya.

“Memang di dalam Pasal 21B Ayat (1) Perpres tersebut ada sedikit yang mengatur soal pembagian dimana BBM RON 88 merupakan 50% dari volume jenis bensin (gasoline) RON 90 yang disediakan dan distribusikan oleh Badan Usaha penerima penugasan, hanya saja detail pelaksanaanya sampai saat ini belum jelas.” lanjut Mamit.

Selain itu, Mamit juga mengusulkan agar BBM RON 88 segera dihapus mengingat konsumsinya yang hanya 7% dari total konsumsi BBM Nasional serta komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi CO2.

“Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi CO2 sebesar 29% pada 2030  sesuai dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang ditandatangani di Paris pada 2015 yang lalu. Dan sesuai dengan Permen LHK No 20/2017, BBM RON 88 memang sudah seharusnya hapuskan. Apalagi konsumsi secara nasional sudah sangat sedikit,” tukasnya.

Untuk Pertamax dan BBM Umum lainnya, Mamit meminta Pertamina Patra Niaga untuk menyesuaikan sesuai dengan harga keekonomian. Menurut dia, hal ini diatur dalam KepMen ESDM No 20/2021 Pasal 8 Ayat (1) dimana harga jual eceran dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha.

“Jelas sekali dalam KepMen ESDM 20/2021 tersebut mengatur mekanisme harga untuk BBM Umum. Jadi, saya kira Pertamina Patra Niaga bisa menyesuaikan harga sesuai dengan keekonomian. Tidak perlu ragu untuk itu. Jika tidak, maka keuangan mereka akan semakin berdarah-darah,” pungkas Mamit.(SF)