Jakarta, ruangenergi.com – Diketahui saat ini, beberapa konglomerat di Indonesia tengah berlomba-lomba untuk membangun smelter nikel. Pertama, Garibaldi Thohir (Boy Thohir) pemilik PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui anak usahanya PT Adaro Alumunium Indonesia akan membangun smelter alumunium di Kawasan Industri Hijau Indonesia, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Diketahui, nilai investasi proyek smelter milik Boy Thohir itu mencapai USD 728 juta. Nilai investasi ini setara Rp10,86 triliun dengan asumsi kurs Rp14.926 per USD.
Terbaru, Jusuf Kalla melalui PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) tengah membangun smelter. Smelter milik JK ini berada di Desa Karang-karangan, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Lantas apa motif para konglomerat untuk beralih ke bisnis smelter nikel?
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga menyampaikan bahwa minat para konglomerat kakap di Indonesia untuk menggarap bisnis smelter tak lepas dari program hilirisasi nikel yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi.
Pemerintah sendiri berambisi menjadikan Indonesia sebagai produsen utama baterai kendaraan listrik dunia.
“Program hilirisasi ini merupakan kebijakan strategis jangka panjang yang pemerintah Indonesia telah lakukan,” ungkapnya dalam keterangan tertulis dikutip pada (18/07/2023).
Dengan rencana besar tersebut, kata Daymas, prospektif bisnis smelter di Indonesia kian menjanjikan. Mengingat, diperlukan keberadaan smelter untuk mengolah biji nikel mentah sebelum menjadi produk baterai lithium.
“Karena memang saat ini kita membutuhkan banyak smelter untuk dapat mengolah bahan mineral mentah, salah satunya adalah nikel,” ucap Daymas menekankan.