Nusa Tenggara Timur, Ruang Energi.Com – Terkait dengan rencana pengembangan panas bumi Wae Sano, Ditjen EBTKE bersama pelaksana proyek panas bumi menggelar acara Geothermal Class (26/10/20) yang diselenggarakan seharian oleh Tim Bersama, peserta dari Keuskupan, Ruteng-NTT telah mengerti lebih banyak lagi teknis dari persiapan, perencanan, pelaksaan proyek panas bumi. PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) berkolaborasi dengan PT Geo Dipa Energisebagai pelaksana penugasan yang bagian dari SMV Kementerian Keuangan akan mulai mempersiapkan Proyek Pengembangan Energi Panas Bumi Hulu atau the Geothermal Energy Upstream Development Project (GEUDP) di Triwulan I, 2021.
Proyek Eksplorasi Panas Bumi Wae Sano adalah salah satu proyek yang sudah mendapatkan persetujuan di bawah skema GEUDP, yang terletak di Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rencana dengan luas area kurang lebih 10km2, proyek eksplorasi panas bumi Wae Sano terletak di area sekitar Danau Sano Nggoang, dengan 3 Desa yaitu Desa Wae Sano, Sano Nggoang dan Pulau Nuncung.
Proyek ini memiliki tujuan untuk memfasilitasi investasi energi listrik berbasis energi terbarukan panas bumi yang dilakukan dengan “government-sponsored, pre-license drilling dan menyediakan asistensi teknis serta penguatan kapasitas”. Fokus dari proyek ini adalah pengembangan pasar energi listrik berbasis panas bumi di wilayah Indonesia Timur yang cukup berlimpah untuk dijadikan base load sebagai proyek Demand Creation di masa depan. Dengan menurunnya risiko eksplorasi melalui Gov.Drilling maka kepastian cadangan panas bumi sudah dapat dipastikan lebih awal (tdk seperti dimasa lalu, membeli kucing dalam karung) an hasilnya akan menurunkan harga juas listrik kepada PLN. Tingkat elektrifikasi di Indonesia Timur masih rendah, sehingga tingkat kemiskinan masyarakat masih tinggi dan pada umumnya listrik di wilayah tersebut masih sangat bergantung kepada tenaga diesel, yang tidak menjadikan listrik sebagai alat pembangunan ekonomi, melainkan masih berupa penerangan pada masyarakat saja.
Geothermal Class diisi pula dengan pemutaran Video dari beberapa kegiatan praktisi panas bumi dari hulu hingga hilir, serta paparan akademisi oleh ITB dan penjelasan praktisi oleh Tim Bersama.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki komitmen yang sangat tinggi untuk menangani isu perubahan iklim.
Tahun 2019 lalu, Indonesia baru saja membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH)yang bertugas untuk mengelola keuangan dan pembiayaan lingkungan hidup yang berkelanjutan secara lebih baik. Saat ini BPDLH dipercaya untuk mengelola dana USD103,8 juta dari Green Climate Fund (GCF).
Isu iklim sangatlah penting untuk masa depan umat manusia. Pada the 4th Ministerial Meeting of The Coalition of Finance Minister for Climate Action” (Senin, 12/10), disebutkan bahwa World Meteorogical Organization (Organisasi Meteorologi Dunia) mencatat berkurangnya global emisi gas rumah kaca hingga 6% selama pandemi.
Ini merupakan sebuah kesempatan mereformasi pembangunan yang lebih bersih, lebih hijau, ramah lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan, sehingga isu perubahan iklim dapat dikurangi risikonya di masa depan.
Untuk mengarusutamakan perubahan iklim ke dalam pengelolaan keuangan publik, Kementerian Keuangan telah mengembangkan mekanisme Climate Budget Tagging (CBT) dan sudah mengintegrasikan ke Perencanaan dan Penganggaran Nasional sejak tahun 2016.
CBT ini menjadi dasar dalam mengalokasikan sekitar 3,9% setiap tahun dari alokasi anggaran 2016-2020 untuk climate change secara konsisten.
Anggaran ini bisa menjangkau sekitar 34% dari pembiayaan yang dibutuhkan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC).
Selain itu, CBT juga meningkatkan kemampuan pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari market dengan lebih efisien. Pemerintah Indonesia secara teratur menerbitkan green bonds dalam bentuk Sukuk sejak tahun 2018, sebagai instrumen yang inovatif untuk meningkatkan green investment di Indonesia.
Partisipasi green investors atas global sukuk terus meningkat dari 29% di 2019 menjadi 33,7% di 2020 dan ini diharapkan berdampak pada penurunan yield. Indonesia, sebagai penerbit pertama sovereign green sukuk di dunia dan penerbit pertama sovereign green bond di Asia, telah menerbitkan green sukuk senilai USD2,9 miliar.
Ayo jaga bumi Indonesia melalui energi terbarukan panas bumi, hari ini untuk warisan masa depan generasi yang akan datang!