Jakarta,ruangenergi.com– Transisi energi merupakan suatu keniscayaan, hampir semua perusahaan migas besar telah mencanangkan kebijakan net zero emission (NZE) pada tahun 2050 atau lebih awal.
Dampaknya jelas, rencana investasi hulu migas berkurang drastis karena sebagian akan beralih ke proyek yang rendah karbon. Namun disisi lain, berkurangnya investasi hulu migas tentunya akan berdampak terhadap pasokan global, yang apabila energi non fosil belum siap memenuhi permintaan dapat berdampak terhadap krisis energi di suatu negara.
Ruangenergi.com melakukan bincang santai virtual tentang isu strategis ini dengan Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan, SKK Migas, Jumat (08/04/2022) di Jakarta.
Benny berpengalaman sebagai Analis di markas OPEC Wina selama lebih dari 7 tahun, menulis beberapa buku tentang hulu migas. Dia dilantik sebagai Deputi Perencanaan Bulan Juli 2021, sebagai orang lama di industri hulu migas, dia langsung tancap gas bahu membahu dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mempercepat proses persetujuan yang terkait dengan pengembangan lapangan. Berikut bincang santai virtual dengan Benny di sela kesibukannya selama bulan Ramadhan ini:
Bagaimana proggres target 1 juta BOPD dan 12 BCFPD di tahun 2030?
Kami terus mengawal bahwa secara ketersediaan (availability) target tersebut sesuatu yang realistis, namun harus diakui bahwa yang menantang itu adalah bagaimana dapat mengangkat cadangan dan sumber daya migas tersebut secara ekonomis dan sesuai tata waktu yang telah dibuat. Ini jujur saja tidak mudah, perlu dukungan semua pihak karena pendekatannya dengan paradigma yang berbeda.
Paradigma seperti apa?
Tantangan sektor hulu migas yang dihadapi satu dekade terakhir ini sudah berbeda sama sekali, kompetisi untuk menarik investasi hulu migas global semakin ketat, hampir semua negara membuat kemudahan bisnis baik dari aspek fiskal dan non fiskal, transisi energi membuat persaingan bahkan semakin ketat.
Apakah kita kurang kompetitif?
Menurut kajian beberapa konsultan dan lembaga internasional, kita memang kalah menarik. Simpelnya begini, kalau kita punya lapangan yang belum dikembangkan (undeveloped discovery), misalkan lapangan tersebut dengan asumsi cadangan, biaya dan harga tertentu, kalau kita hitung dengan terms & conditions (T&C) saat ini, diperoleh hasil dimana indikator keekonomian menunjukkan hasil yang tidak ekonomis. Sementara dengan asumsi yang sama kalau dihitung dengan T&C negara lain, misal: Vietnam, Malaysia, Australia, etc, proyek tersebut bisa ekonomis.
Kalau kasusnya seperti itu, apa solusinya?
Solusinya tentunya perlu tambahan insentif agar paling tidak investor dapat mencapai minimum attractive rate of return (MARR), kalau tidak ada insentif, nggak ada proyek, nggak ada itu 1 juta BOPD dan 12 BCFPD di 2030.
Ada masalah lain selain terms & conditions fiscal?
Sebagaimana yang sering dicanangkan IPA, ease of doing business, itu juga penting untuk diperbaiki, fiskal saja tidak cukup, jadi ya PR nya dua itu. Simpelnya begini: kalau di negara lain, untuk industri hulu migas mereka berprinsip: kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit, ya kita jangan sebaliknya he he…
Pada awalnya banyak yang meragukan target 1 juta BOPD dan 12 BCFPD di tahun 2030, komentar Anda?
Saya menghindari perdebatan yang tak perlu, kita sama-sama tahulah target itu tidak mudah, saya fokus saja bagaimana menaikkan produksi, bagaimana membantu KKKS mempercepat proses pengembangan lapangan, optimalisasi sumur/lapangan, mendorong kegiatan eksplorasi dan lain-lain. Masalahnya itu begini: katakanlah produksi 1 juta BOPD tercapai di tahun 2030, kita masih defisit minyak yang cukup besar yang perlu di impor, apalagi kalau tidak tercapai. Tugas besar industri hulu migas itu bagaimana supaya gap itu tidak semakin menganga yang disebabkan produksi terus turun.
Apa tantangan industri hulu migas kedepan dengan adanya transisi energi?
Persaingan menarik kapital global tentu semakin kompetitif, aturan internal perusahaan terkait dengan emisi karbon juga semakin ketat sehingga persaingan internal memperoleh alokasi kapital semakin sulit, hanya proyek yang relatif “green” yang akan di prioritaskan. Perlu terobosan baru kedepan berupa insentif supaya proyek tetap layak secara keekonomian.
Apakah proyek EOR dan Migas Non Konvensional (MNK) masih menarik bagi investor?
Beberapa perusahaan besar kedepan mungkin akan fokus di gas karena relatif lebih bersih dari minyak, namun beberapa perusahaan lain tentu tetap tertarik untuk mengembangkan EOR dan MNK. Pengembangan MNK lebih menantang baik secara teknis operasional dan tentunya secara keekonomian karena sangat berbeda dengan migas konvensional. Supaya MNK bisa jalan, menurut saya perlu segera dikeluarkan fiskal khusus yang luar biasa menarik bagi investor, perlu perubahan radikal untuk paling tidak membuat investor MNK melirik kemari. Secara regulasi sudah dikeluarkan kemudahan berupa Permen, untuk fiskal kami sedang menyiapkan proposal perubahan radikal tersebut. Pengembangan MNK prinsipnya now or never, momentumnya sekarang, lebih tepatnya kemarin, telat sedikit kita ketinggalan kereta, MNK akan selamanya dibawah sana.
Bagaimana Anda melihat bahwa CCS/CCUS akan memainkan peran penting kedepan?
CCS/CCUS ini memang memiliki peran yang cukup vital dalam mengurangi emisi global. Dalam Industri hulu migas CCUS, dua huruf terakhir itu yang penting, yaitu: utilization (usage) dan storage. Utilization bisa dalam bentuk EOR dan EGR, dimana CO2 tersebut digunakan untuk meningkatkan recovery minyak dan gas. Sementara storage, adalah tempat yang digunakan untuk menampung CO2 tersebut dibawah permukaan yang berupa lapisan di reservoir. Kedepan bisnis CO2 storage ini akan cukup menjanjikan, kita bisa menggunakan depleted reservoir yang tersebar di tanah air untuk dijadikan CO2 storage, tentu ada kriteria & persyaratan yang harus dipenuhi untuk kelayakan depleted reservoir menjadi CO2 storage. Kedepan tentunya hampir semua POD akan memasukkan scope CCS atau CCUS ini dalam rangka mengurangi emisi karbon dan sebagai upaya untuk tetap kompetitif di pasar.
Dengan adanya transisi energi, harga minyak turun saat awal pandemi dan naik drastis belakangan ini, banyak proyeksi yang dibuat, bagaimana Anda melihat peran industri hulu migas?.
Kita perlu berhati hati membuat proyeksi-proyeksi pada saat transisi energi ini, sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, investasi hulu migas cenderung menurun drastis sehubungan dengan pandemi dan kebijakan energi transisi, yang tentunya berdampak terhadap pasokan dalam jangka pendek dan menengah. Selama periode transisi ini bisa terjadi lagi kenaikan harga komoditas seperti saat ini, karena ada mismatch antara seberapa cepat terjadi turunnya permintaan migas akibat transisi energi, dan seberapa cepat pasokan migas merespon in-case permintaan ternyata tidak turun drastis karena transisi energi tidak semulus yang diperkirakan.
Harga minyak akan terus naik dan turun kedepan sesuai dinamika global dan tentunya salah satu pemicu kenaikan harga adalah adanya isu geopolitik yang kedepan kemungkinan masih akan terjadi. Saya melihat selama periode transisi energi ini, maka kita perlu terus mendorong agar investasi hulu migas tetap menarik, supaya proyek tetap berjalan sesuai rencana sehingga dapat mengurangi beban ketika nanti kedepan siklus harga minyak kembali naik tinggi, kebutuhan impor kita tidak semakin membengkak yang dapat membawa kita ke krisis energi.
Industri hulu migas bersifat jangka menengah dan panjang, ketika harga naik, kita tidak serta merta dapat menaikkan produksi. Perlu kebijakan yang berkesinambungan yang terus mendorong agar industri hulu migas dapat menjadi buffer selama periode transisi ini, untuk mencegah terjadi krisis energi kalau ternyata transisi energi tidak berjalan mulus.