Ini Kata Anggota Komisi VII Soal R-Permen PLTS Atap 1:1

Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah saat ini tengah melakukan Revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap Oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Dalam revisi tersebut, Menteri ESDM mewajibkan PLN membeli listrik dari pengguna PLTS Atap setara dengan harga jual listrik PLN ke masyarakat. Besaran harga jual dan beli listrik itu setara 1:1, alias PLN harus membeli 100% listrik yang dihasilkan dari PLTS Atap tersebut

Anggota Komisi VII DPR, Kardaya Warnika, mengungkapkan kewajiban PLN membeli listrik yang dihasilkan dari PLTS Atap tersebut apakah menguntungkan PLN atau justru merugikan PLN.

“Ada kewajiban 100% itu yang dibeli oleh PLN itu menguntungkan atau merugikan PLN. Lalu menguntungkan atau merugikan PLN itu dibandingkan dengan apa, harus jelas itu (aturannya),” kata Kardaya kepada Ruangenergi, (30/08).

Dia menambahkan, jika dibandingkan PLN membeli listrik dari PLTS lainnya apakah harganya diatas atau dibawahnya.

“Misalnya PLN itu membeli 5 sen per kWh dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), lalu dari PLTS Atap itu dibeli PLN dengan harga 7 sen. Artinya ini merugikan PLN. Tapi kalau dijual nya itu kurang dari 5 sen. Itu PLN kalau menurut saya harus beli,” ungkapnya.

Selain itu, PLN juga harus menghitung mana-mana kontrak yang harus dibelinya. Misalnya saja PLN itu sudah terikat kontrak dengan pembangkit listrik lain dengan harga sebesar 5 sen, lalu PLTS Atap misalnya menawarkan 4 sen, logikanya kan mendingan beli dari PLTS Atap.

Akan tetapi, lanjutnya, kalau membeli dari PLTS Atap itu harus menyetop pembelian dari pembangkit lain, di mana di dalam kontrak dengan pembangkit lain itu ada klausul Take or Pay (TOP).

“Kalau ada klausul ini, PLN harus membeli 4 sen dari PLTS Atap, akan tetapi 5 sen juga harus di beli dari pembangkit lain. Artinya harganya itu lebih tinggi, dan jadi double PLN belinya,” katanya.

Dalam R-Permen ESDM PLTS Atap ini tidak ada skema Take or Pay, menurutnya hal ini harus dipikirkan kembali.

Kardaya mengatakan, seyogyanya Pemerintah harus membicarakan ini dengan wakil rakyat, sebab mengenai peraturan terkait dengan energi dan menyangkut hajat hidup orang banyak (listrik).

“Pembahasan ini terkait dengan hajat hidup orang banyak. Kalau ternyata PLN nya itu harus menyetop kontrak-kontrak dengan pembangkit lain ini harus di bicarakan dengan para wakil rakyat. Jadi tidak se-sederhana itu menurut saya, artinya perlu ada dialog antar Komisi VII DPR dengan Pemerintah terkait kemaslahatan hajat hidup orang banyak,” tegas Kardaya.

Ia kembali menjelaskan, Karena ini suatu kebijakan yang akan menyangkut hajat hidup orang banyak yaitu listrik, jadi hal itu harus dipertimbangkan masak-masak dan dibicarakan dengan DPR.

“Jangan sampai peraturan tersebut sudah diundangkan, lalu DPR ngomong, lalu dirubah lagi isinya,” imbuhnya.

Menurut Kardaya, jika hal ini upaya meningkatkan bauran EBT, sangat bagus.

“Kedepan nantinya untuk urusan kebijakan pemerintah itu keputusan di tangan pemerintah bukan di tangan PLN. Misalnya, untuk urusan penetapan harga listrik yang dibeli PLN itu jangan PLN yang menentukan, kalau itu kaitannya dengan kebijakan, atau penugasan, misalnya Pemerintah ingin meningkatkan EBT maka harga beli listrik dari EBT itu ditentukan oleh pemerintah bukan oleh PLN,” paparnya.

Sementara, jika harganya itu di atas harga PLN, maka pemerintah harus memberikan subsidi.

“Misalnya PLN tanpa EBT itu beli listrik harganya 6 sen, tetapi katakanlah untuk wilayah Indonesia timur PLN wajib beli 9 sen, dan selisih itu nantinya akan dibayar oleh negara (Pemerintah) melalui APBN subsidi,” jelasnya kembali.

“Intinya yang menetapkan itu harus Pemerintah, dan menugaskan PLN, kalau harganya itu diatas harga PLN beli ya harus di subsidi lewat APBN,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *