Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com- Badan Legislasi DPR RI (Pleno) menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SP SKK MIGAS).
Dalam rangka Pemantauan dan Peninjauan atas UU tentang Migas. Senin, 30 Juni 2025, Baleg DPR mendengar langsung pendapat dari SP SKK Migas yang diketuai oleh Afriandi Eka Prasteya. Adapun anggota Baleg DPR 16 orang hadir dari 6 Fraksi dan dipimpin Ketua Baleg Bob Hasan dari F Gerindra.
Pertemuan SP SKK Migas dengan Badan Legislasi DPR ini berdasarkan adanya surat bernomor 31, Juni 2025.
“Presentasi penguatan regulasi migas untuk swasembada energi. Kami mencoba melihat terhadap amanah sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 tentang ekonomi dan sumber daya alam Indonesia,” kata Afriandi saat membuka presentasinya di hadapan 16 orang Anggota Baleg DPRRI, Senin (30/06/2025), di Jakarta.
Hal ini, lanjut Afriandi, sejalan dengan Asta Cita Presiden Republik Indonesia tentang memantapkan sistem pertahanan keamanan negara, mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan dan swasembada energi, air, ekonomi kreatif hijau dan ekonomi biru serta memperkuat penyelenggaraan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya dan peningkatan toleransi antar umat beragama untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
“Kami melihat bahwa untuk swasembada energi tersebut kita memerlukan pertumbuhan ekonomi dimana pada saat ini Indonesia dibandingkan negara-negara maju di Eropa maupun di Amerika kita masih gelap kalau malam hari. Artinya bahwa pada saat itu pada saat ini kita memiliki pertumbuhan ekonomi yang masih kurang dibandingkan negara-negara maju di mana di mereka sudah memiliki energi yang baik kemudian juga pertumbuhan ekonomi yang bagus dan diantara untuk mendukung swasembada energi ini adalah adalah diantaranya adalah sumber daya alam dari minyak dan gas bumi,”urai Afriandi.
Lagi pula juga, lanjut Afriandi, sektor Migas masih krusial dalam bauran energi Nasional telah digariskan oleh rancangan umum energi nasional (RUEN); bahwa pada tahun 2020 sampai 2050 kita diharapkan sudah memiliki bauran energi namun pada saat ini kita masih bergantung pada energi fosil diantaranya adalah migas dan batubara di mana konsumsi kita pada hari ini sudah di atas 1,6 juta barel.
“Sedangkan produksi Migas nasional kita masih di 600.000 barel dan kita telah menjadi importir untuk Migas sejak 15 sampai 20 tahun yang lalu dan kita juga berupaya untuk mengejar namanya target RUEN dimana kita punya produksi jauh sekali dari kebutuhan itu adalah satu pe er (pekerjaan rumah) dan kita juga punya kontribusi dan kontribusi ini juga ternyata yang tadinya 30% menyumbangkan kepada penerimaan negara tapi kita makin turun. Adapun gross revenue atau atau penerima negara kita yaitu sekitar 2278 Triliun Rupiah dan ini berjalan tanpa adanya undang-undang yang mengatur penerimaan mengatur secara jelas tentang regulasi ini.Kemudian juga kita melihat juga bahwa dari setiap tahun kita mengalami penurunan penerimaan,”urai Afriandi lagi.
“Tantangan yang kita sampaikan bahwa kita memiliki tiga macam; pertama adalah peraturan migas kemudian juga geologi /kondisi geologi atau subservices di bawah tanah.Kemudian juga kondisi fiskal. Kalau Indonesia saat ini memiliki ideologi yang cukup tidak adanya peraturan fiskal dan juga peraturan migas yang mendukung maka potensi Migas kita tidak akan dapat ditingkatkan dan kita memiliki banyak masalah tentang standing legal standing yang cukup untuk berkontrak dengan para pengusaha migas karena dengan berkontak dengan para pengusaha migas situlah kita dapat mengambil produksi migas. Ditambah lagi ternyata Indonesia memiliki pada hari ini ada 140 izin yang harus kita penuhi dalam melakukan eksploitasi Migas dan ini merupakan izin yang harus dipenuhi setiap perusahaan migas dan kita cukup apa ya suffering. Kemudian apabila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India, Kanada, Norwegia, Inggris kita memiliki banyak sekali perizinan. Jadi bisa dibandingkan bahwa dengan India saja kita masih lebih banyak dan mapping masalah-masalah Ini kemungkinan besar karena ketidakjelasan didalam undang-undang yang ada pada saat ini,”sambungnya.
Dia menuturkan, melihat dari survei bahwa tingkat aktivitas industri migas di Indonesia ini perlu ditingkatkan Karena pada saat ini kita memiliki proven reserve untuk minyak itu sekitar 2,6 billion barrel oil dan gas sebesar 39 trilyun cubic feet.Dan ini tanpa penemuan cadangan baru kita sudah mature.
“Jadi kita sangat dibawah dari negara-negara di dunia Dan kita memiliki tingkat attractiveness yang sangat rendah kalau tidak kita lakukan satu penguatan regulasi, mungkin kita hulu migas kita ketinggalan terus,”jelasnya.
Dia menambahkan, Indonesia memiliki temuan-temuan baru pada tahun-tahun sebelumnya itu juga tidak memberikan hasil yang sangat menggembirakan karena ternyata untuk mengembangkan atau mengeksploitasi temuan-temuan baru itu juga membutuhkan investasi yang sangat besar.
“Sekali lagi bahwa investor-investor itu juga menunggu apakah perundang-undang kita akan menjadi lebih baik atau tidak? Dan daya saing investasi Indonesia sendiri pada 31 Oktober 2023 overaal ratingnya adalah 5 poin 3 dimana legal contract keluarnya kita di 5,34 kemudian fiskal-nya di 5 poin 11 ini adalah hasil dari IHS Market atau S&P Global pada bulan Oktober dan sampai kuartal kedua 2025 kita untuk legal dan konseptual yang terkait sama undang-undang Migas ini kita masih peringkat 13 dari 14 negara di Asia Tenggara.Jadi bisa dibayangkan bahwa investor masih lebih suka untuk menengok ke sebelah negara tetangga sebelah daripada Indonesia untuk menanamkan modalnya di Hulu Migas. Padahal kita membutuhkan sekitar 2790 triliun untuk investasi meningkatkan produksi kita paling tidak mencapai 1 juta barel dan 12 ribu mmscfd. Ini adalah target.Ya setidaknya walaupun kita tidak bisa mencapai 1,6 tapi untuk 1 jutanya saja, tanya saja kita membutuhkan investasi sebesar itu,”urainya lagi.
Seperti Malaysia
Dalam paparan di hadapan Baleg DPRRI, SP SKK Migas menawarkan hal menarik, yakni kelembagaan Migas supaya menjadi single point of contact.
“Ditambah lagi sejak 2012 undang-undang cipta adalah undang-undang nomor 22 tahun 2001 dan 2000 tahun 2012 Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa BP Migas saat itu inskonstitusional sehingga diserahkan pengelolaannya ke Kementerian ESDM dalam bentuk sebagai satuan kerja khusus migas di mana kami bekerja pada saat ini dan ini menurut mahkamah pengelolaan secara langsung oleh negara atau oleh Badan Usaha yang dimiliki oleh negara adalah yang dikehendaki oleh pasal 33 undang-undang Dasar 1945 namun sejak 2012 sampai saat ini 2025 kita masih belum menemui adanya Badan Usaha Milik Negara atau yang diberikan kuasa usaha pertambangan secara full untuk mengelola sebagaimana mana dari mahkamah konstitusi. Kita mengharapkan bahwa revisi undang-undang yang akan ada berikutnya adalah sesuai dengan keputusan MK.Kami sampaikan juga bahwa terakhir kali tahun 2023 kami apa namanya pembahasan mengenai revisi undang-undang Migas sendiri sudah mencapai final nya namun pada saat itu tertunda sehingga diajukan. Ya kami berusaha untuk mengingatkan kembali kepada DPPRI dan juga pemerintah. Bagaimana untuk kelanjutan mengenai penguatan regulasi migrasi? Dan kita melihat bahwa tetangga kita Negeri Jiran Malaysia memiliki model kelembagaan pengelolaan migas yang ada saat ini kami lihat cukup berhasil di mana disitu menjadi single Point untuk upstream investor di Malaysia,”tegasnya.
“Mengenai ikhtisar putusan MK sendiri, kita melihat kondisi pemerintah tidak dapat secara langsung melakukan pengelolaan dengan adanya SKK Migas.Kemudian di SKK Migas sendiri juga masih harus berkoordinasi dengan Kementerian Kementerian yang ada seperti Kementerian ESDM kemudian Kementerian Lingkungan Hidup,dan Kehutanan, Kementerian industri dan seterusnya, dan juga untuk operasional SKK Migas sendiri juga dengan kementerian keuangan dan juga pengelolaan aset-aset terkait dengan migas juga dengan kementerian keuangan,”sambungnya.
“Jadi masih banyak hal-hal yang tidak bisa diselesaikan secara langsung sehingga dengan tidak adanya Badan Usaha Milik Negara yang mengelola ini semua kita melihat ini salah satu hal yang cukup membuat investasi juga tidak terlalu baik. Kemudian juga skkmigas sendiri adalah sifatnya sementara namun actualnya sudah 12 tahun dan undang-undang sendiri juga belum ada undang-undang yang baru atau rancangan undang-undang terhadap isi undang-undang nomor 22 tahun 2001 juga belum ada. Dan k3s atau kontrak kerjasama yang saat ini dikelola oleh SKK Migas aja itu SKK Migas adalah sebagai wakil government. Padahal yang namanya kontrak dalam bisnis biasanya dilakukan business to business dimana kalau kontrak government to be business, akan menjadi satu paparan tersendiri terhadap pemerintah,”tegas Afriandi.
Di hadapan Baleg DPR, SP SKK Migas menguraikan betapa hubungan negara dan swasta dan pengelolaan sumber daya alam juga sebaiknya tidak boleh bersifat perdata melainkan hubungannya publik melalui konvensi atau izin di bawah kendali negara dan solusinya adalah kitab menyarankan untuk negara menunjuk badan usaha khusus sebagai pemegang konsesi Migas Indonesia yang kemudian membuat kontrak kerjasama dengan badan usaha atau Badan Usaha tetap dari para investor tersebut.
“Dan kita juga berharap bahwa revisi undang-undang ini dapat menjawab tantangan energi nasional, swasembada energi versus produksi yang terus menurun, dapat segera ditahan dan kembali meningkat, kemudian juga kepastian umum reformasi hukum dan iklim investasi supaya kita dapat mengundang investor kembali datang ke Indonesia dan utamanya untuk meningkatkan eksplorasi. Karena kalau kita hanya bertahan pada eksploitasi yang eksisting kita mungkin tidak akan memiliki akan mencapai target RUEN tersebut. Uraian tersebut kemudian juga kalau kita tidak menambah lagi eksplorasi, maka tidak akan ada lagi cadangan cadangan baru dan mungkin kita harus menjadi importir sepenuhnya dalam waktu beberapa tahun yang akan datang dan juga kita harus meningkatkan tingkat kompetitif karena 13 dari 14 itu berarti Kompetitif kita kurang bagus tunggu di kita mengharapkan penguatan kelembagaan Migas supaya menjadi single point of contact dimana semua, baik itu investor itu tinggal datang ke badan usaha ini dan menjadi satu solusi dan kita juga berharap adanya perizinan yang tadi 146 izin itu dapat dipangkas menjadi lebih sedikit supaya apa namanya operasional migas di Indonesia dapat berlangsung dengan baik. Dan juga skema tata ruang dan lahan juga kita bisa lebih tata kembali supaya Migas ini tidak bertumpang tindih dengan yang lainnya ataupun juga ada tumpang tindih mungkin diberikan solusi yang lebih cepat,”tutup Afriandi mengakhir paparannya di Baleg DPR RI.