Balikpapan, Kalimantan Timur, ruangenergi.com – Pagi itu, TPA Manggar tidak seperti tempat pembuangan akhir pada umumnya. Alih-alih aroma menyengat yang menusuk hidung, suasana justru terasa hangat dan penuh canda tawa. Di tengah hamparan lahan seluas 40 hektare tersebut, sebuah kolaborasi apik sedang dirayakan—sebuah pembuktian bahwa sampah, jika disentuh dengan teknologi dan hati, bisa menjadi sumber kehidupan.
Kehadiran Ruang Energi.com, perwakilan PT Pertamina Hulu Indonesia, serta tim PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), bukan sekadar kunjungan biasa. Mereka datang untuk menyaksikan langsung bagaimana teknologi industri minyak dan gas (migas) “diadaptasi” ke gundukan sampah.
Ruangenergi.com hadir dan disambut dengan hangat oleh: Local Hero : Suyono. Kelompok pengelola distribusi gas methan, yang diketuai oleh Bu Karti. Kelompok UMKM Berkah Gas Methan, dengan ketua Bu Norma. Pengurus Bank Sampah Kampung Methane, dengan Ketua Pak Rasum, kemarin, diwakilkan oleh wakilnya Bu Heriani. Semua semangat menjelaskan tentang Bank Sampah dan Wasteco.
Teknologi Migas di Gunung Sampah

“Kalau dilihat di sini, ada kepala sumur, meter pengukur, manifold, separator, hingga pipa industri dan flaring,”kata Asih Soenarih, Sr. Officer Communication Relations & CID Zona 8 sambil menunjuk instalasi pipa yang membentang. Ini adalah inti dari program Wasteco.
Sebuah inovasi berani yang mengadopsi teknologi canggih hulu migas untuk menangkap gas metana dari tumpukan sampah. Jika dulu gas ini menguap menjadi emisi rumah kaca yang merusak ozon, kini ia dialirkan melalui jaringan pipa distribusi sepanjang 8,3 kilometer—sebuah pencapaian infrastruktur yang luar biasa untuk skala pengelolaan sampah swadaya.
Peta jalan program ini telah dimulai sejak 2018. Dari kondisi awal di mana 380 ton sampah per hari hanya menumpuk dan menimbulkan bau, kini TPA Manggar telah bertransformasi.
Di balik pipa-pipa plastik (paralon) itu, ada cerita tentang periuk nasi yang tetap mengepul. Sebanyak 113 rumah tangga di empat RT sekitar TPA kini tak perlu lagi pusing memikirkan harga elpiji yang fluktuatif. Gas metana yang disalurkan ke rumah mereka telah menggantikan ketergantungan pada bahan bakar fosil konvensional.
“Secara ekonomi, konversi ini mampu menghemat setara 18.240 tabung gas elpiji per tahun,” ungkap data yang dipaparkan dalam pertemuan tersebut.
Namun, dampaknya tak berhenti di dapur. Program ini melahirkan pahlawan-pahlawan lokal (Local Heroes) seperti Pak Suyono, sang inisiator teknis, hingga kelompok ibu-ibu tangguh penggerak UMKM Berkah Gas Metan. Mereka membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah kunci keberlanjutan. Tak hanya memasak, mereka kini memproduksi barang bernilai ekonomi, didukung oleh keberadaan Bank Sampah Gas Metana yang dikelola secara profesional.
Harapan untuk Replikasi
Suasana pertemuan pagi itu menekankan satu hal penting: Replikasi. Praktik baik yang telah berjalan selama kurang lebih tujuh tahun ini tidak boleh berhenti di pagar TPA Manggar saja.
“Tujuan utamanya adalah mempererat silaturahmi dan berharap tim media dapat mempublikasikan ini, agar daerah lain bisa mencontoh,” ujar Suyono. Harapan besar digantungkan agar program pemanfaatan gas metana ini bisa diduplikasi di wilayah lain di Indonesia.
Kunjungan delegasi internasional seperti AIESEC hingga pengakuan HAKI dan hak paten yang baru saja diraih menjadi bukti bahwa Wasteko bukan sekadar proyek coba-coba. Ini adalah model bisnis sosial dan lingkungan yang valid.
Saat matahari semakin tinggi, diskusi beralih ke masa depan. Ada komitmen kuat untuk terus meningkatkan kapasitas SDM hingga program ini bisa mandiri sepenuhnya (exit strategy). Bagi warga sekitar dan para pengelola, TPA Manggar kini bukan lagi sekadar tempat berakhirnya sisa konsumsi, melainkan titik awal lahirnya energi baru yang penuh berkah.











