Ketika Investor Ogah, Padahal Migas Indonesia Masih Menggoda, Ini Kata Pakar Migas!

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com- Dosen Universitas Pertamina Dr. A. Rinto Pudyantoro yang sekaligus pakar migas mengatakan dengan tegas bahwa harta karun migas yang luar biasa, terkunci rapat di balik pintu regulasi yang berlapis-lapis bak kue lapis legit yang dipotong pelan-pelan agar bisa nikmat dimakan.

“Indonesia punya harta karun migas yang luar biasa, tapi sayangnya terkunci rapat di balik pintu regulasi yang berlapis,” begitu kira-kira benang merah dari paparan Rinto dihadapan jurnalis sektor energi, Rabu (15/10/2025), di Jakarta.

Rinto bercerita, dari data Fraser Institute menunjukkan bahwa Investment Attractiveness Index Indonesia anjlok drastis: dari skor 73,09 (peringkat 27 dunia pada 2019) menjadi hanya 45,17 (peringkat 56 dari 86 negara pada 2023). Penyebab utamanya bukan pada geologi—karena cadangan masih besar—melainkan pada regulasi yang berubah-ubah, birokrasi panjang, hingga perizinan yang saling tumpang tindih antar lembaga.

“Kalau di Malaysia, Petronas bisa jadi koordinator tunggal sehingga approval cepat. Di Indonesia, persetujuan PoD (Plan of Development) bisa makan waktu lama,” jelas Rinto.

Tantangan Hulu Migas

Rinto dengan gaya dosennya, langsung merinci empat problem besar yang membelit bisnis hulu migas. Catatan pertama Rinto, produksi menurun ini disebabkan mayoritas lapangan sudah mature dengan decline 15–20% per tahun. Lifting minyak bahkan sudah di bawah 600 ribu barel per hari.

Catatan kedua Rinto, regulasi dan fiskal tidak Konsisten dimana skema kontrak berubah (dari cost recovery ke gross split), insentif fiskal kurang jelas, koordinasi antar lembaga rumit.

Catatan ketiga Rinto, tekanan transisi energi: Dunia menekan dekarbonisasi, sementara Indonesia masih butuh energi fosil. Gas disebut bisa jadi bridge fuel, tapi kebijakan CCUS belum matang.

Catatan keempat Rinto, komersialisasi dan infrastruktur dimana banyak lapangan kecil, jauh dari jaringan pipa, keekonomian rendah, dan harga gas domestik tak cukup menarik investor.

Antara Malaysia dan Indonesia

Rinto membuat perbandingan menarik. Indonesia unggul pada prospek geologi—Andaman dan Papua masih underexplored. Tapi masalah fiskal dan regulasi membuat investor ogah. Sebaliknya, Malaysia bukan hanya punya deepwater yang potensial, tapi juga sistem fiskal fleksibel dan kepastian hukum yang dikawal oleh Petronas.

“Investor itu tidak hanya melihat cadangan, tapi juga kepastian hukum dan return. Malaysia lebih unggul karena proses approval cepat, insentif jelas, dan teknologi baru langsung diadopsi,” ujarnya.

Meski dunia berlari ke energi bersih, Rinto menegaskan hulu migas tetap strategis bagi Indonesia. Ia menopang listrik, industri, transportasi, bahkan jadi tulang punggung menuju swasembada energi 2045.

“Transisi energi tak bisa ujug-ujug. Migas tetap pilar ketahanan energi, minimal sampai Net Zero 2060,” kata Rinto dengan wajah berseri-seri dan semangat.

Di Sini Peran Jurnalis

Menariknya, Rinto menutup paparannya bukan dengan hitungan cadangan atau cost recovery, melainkan dengan ajakan kepada jurnalis. Ia mengingatkan bahwa cara media memberitakan isu migas sangat berpengaruh pada persepsi publik dan investor. Berita negatif yang bias bisa menurunkan kepercayaan investor, membuat pemerintah reaktif, hingga merusak citra industri. Berita positif yang faktual justru bisa meningkatkan literasi energi masyarakat, menguatkan legitimasi kebijakan, sekaligus memberi gambaran bahwa sektor migas masih relevan di era transisi.

“Jurnalis harus kritis, objektif, dan inspiratif. Jangan terjebak pada sensasi, karena energi adalah soal masa depan bangsa,” pungkas Rinto.

Mozaik Kompleks

Kisah industri hulu migas Indonesia pada penghujung tahun 2025 adalah sebuah mozaik yang kompleks, tersusun dari kepingan-kepingan yang tampaknya saling bertentangan. Ada optimisme sesaat dari capaian lifting harian yang melampaui target. Ada diagnosis suram tentang belenggu regulasi berlapis dari seorang akademisi. Ada cermin komparatif dari Malaysia yang menunjukkan betapa efisiensi bisa dicapai. Dan ada gema peringatan global tentang senjakala sebuah era yang telah menopang peradaban modern selama lebih dari satu abad.

Menyatukan semua kepingan ini akan membawa kita pada sebuah kesimpulan yang tak terhindarkan: Indonesia sedang berada di sebuah persimpangan krusial, berpacu dengan waktu yang kian sempit. Tantangan terbesar yang kita hadapi bukanlah geologi. Harta karun itu nyata dan masih tersimpan di perut bumi pertiwi. Tantangan terbesar kita adalah diri kita sendiri: kemampuan kita untuk merancang sebuah sistem yang sederhana, adil, konsisten, dan kompetitif.

Metafora “kue lapis legit” dari Dr. Rinto Pudyantoro adalah ringkasan sempurna dari masalah inti. Kenikmatan kue itu—manfaat ekonomi dari sumber daya migas—terhambat oleh proses memotongnya yang terlalu lambat dan rumit. Sementara kita sibuk memotong lapis demi lapis birokrasi, selera dunia terhadap “kue” energi fosil mulai berubah. Mereka mulai beralih ke hidangan energi terbarukan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Jalan ke depan menuntut keberanian untuk melakukan reformasi struktural yang fundamental, bukan sekadar perbaikan-perbaikan kosmetik.

Rinto menorehkan pesan, agar mau belajar dari Malaysia. Indonesia perlu secara serius mempertimbangkan penyederhanaan radikal dalam proses perizinan dan persetujuan. Pembentukan sebuah badan atau mekanisme “satu pintu” yang benar-benar berdaya, yang mampu mengoordinasikan semua kementerian dan lembaga terkait, adalah sebuah keniscayaan.

Di sisi lain, lagi-lagi menurut Rinto,  perlu adanya reformasi regulasi dan kelembagaan dimina ada kepastian fiskal dan kontrak. Pemerintah harus memberikan kepastian jangka panjang kepada investor. Apapun skema kontrak yang dipilih, ia harus diterapkan secara konsisten dan didukung oleh insentif fiskal yang kompetitif dan jelas, yang mampu menyeimbangkan antara penerimaan negara dan keekonomian proyek.

Rinto menekankan pula perlunya strategi transisi yang realistis. Indonesia harus merumuskan peta jalan transisi energi yang jelas dan realistis. Gas harus diposisikan secara strategis sebagai jembatan, dan ini membutuhkan percepatan dalam penyusunan regulasi CCUS yang menarik secara komersial. Pada saat yang sama, investasi di energi terbarukan harus digenjot dengan memperbaiki iklim investasi secara keseluruhan.

Semua pemangku kepentingan terutama media, saran Rinto, membangun narasi yang seimbang tentang energi. Publik perlu memahami bahwa transisi energi membutuhkan waktu, dan selama proses itu, sektor migas tetap vital untuk stabilitas ekonomi dan ketahanan energi nasional.

Kunci untuk membuka peti harta karun migas Indonesia tidak terbuat dari teknologi pengeboran canggih atau perangkat lunak seismik mutakhir. Kunci itu terbuat dari kemauan politik, keberanian mereformasi birokrasi, dan kerendahan hati untuk belajar dari keberhasilan orang lain.

Jika kunci itu tidak segera ditemukan dan digunakan, harta karun yang luar biasa itu akan tetap terkunci, menjadi sekadar legenda tentang potensi yang tak pernah terwujud, sementara dunia terus bergerak maju meninggalkannya dalam kesenyapan abadi di dasar bumi. Pilihan ada di tangan kita, dan waktu terus berjalan.

Genderang Perang, Tantangan Berat di Depan Mata

Dalam catatan ruangenergi.com, genderang peringatan berbunyi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) nasional. Meskipun angka investasi yang masuk terdengar masif, mencapai Rp 148,2 triliun, realisasi tersebut ternyata masih jauh panggang dari api, menempatkan industri strategis ini dalam pacuan mendebarkan melawan waktu di sisa akhir tahun 2025.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Djoko Siswanto, mengungkapkan bahwa realisasi investasi hingga Agustus 2025 baru menyentuh angka US$ 8,9 miliar. Angka fantastis yang setara dengan Rp 148,2 triliun ini mencakup semua lini kegiatan, mulai dari modal usaha (capex), biaya eksplorasi pencarian cadangan baru, hingga ongkos operasional dan produksi.

Namun, di balik nominal triliunan itu, tersimpan sebuah pekerjaan rumah raksasa. Angka tersebut baru mencapai separuh dari target ambisius yang dicanangkan pemerintah untuk tahun ini.

“Target kami di 2025 adalah US$ 16,5 miliar sampai US$ 16,9 miliar,” tegas Djoko saat memberikan paparan dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa malam (23/9/2025).

Pernyataan ini mengonfirmasi bahwa dengan sisa waktu kurang dari empat bulan pada saat itu, industri hulu migas harus mengejar kekurangan investasi sebesar US$ 8 miliar atau lebih dari Rp 130 triliun. Sebuah tugas yang diakui sangat berat.

Pengakuan Djoko Siswanto ini seolah menjadi penegasan bahwa jalan yang ditempuh industri hulu migas Indonesia masih terjal dan berliku. Sejumlah tantangan klasik disebut masih setia membayangi, mulai dari isu kepastian hukum, kompleksitas perizinan yang berlapis, hingga persaingan global untuk menarik modal yang semakin ketat.

Investor, baik domestik maupun asing, melihat investasi di sektor hulu migas sebagai pertaruhan jangka panjang dengan risiko tinggi. Tanpa adanya jaminan regulasi yang stabil dan iklim usaha yang kondusif, aliran modal yang diharapkan deras bisa berubah menjadi tetesan kecil.

Pentingnya mencapai target investasi ini bukan sekadar soal angka di atas kertas. Investasi adalah denyut nadi dan napas bagi keberlangsungan industri hulu migas. Tanpa modal yang cukup, kegiatan eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber minyak dan gas baru akan mandek. Sumur-sumur yang ada akan terus menua dan produksinya menurun secara alamiah.

Pada akhirnya, kegagalan mencapai target investasi akan berimbas langsung pada target lifting (produksi siap jual), penerimaan negara, dan yang terpenting, ketahanan energi nasional di masa depan. Kini, semua mata tertuju pada strategi dan terobosan yang akan dilakukan SKK Migas dan pemerintah untuk menutup celah besar ini sebelum kalender berganti ke tahun 2026.