Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerhati kegiatan Usaha Hulu Migas, Luluk Harijanto menerangkan, apakah benar Blok Rokan 70 tahun produksi memberikan kontribusi sangat besar dan luar biasa memberikan andil pertumbuhan dan perkembangan ekonomi…?
“Nanti dulu bro…!, Blok Rokan kini dikelola oleh PT Pertamina (Persero), suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa dan negara Indonesia dapat merebut dan pada saatnya nanti Pertamina membuktikan mampu dan lebih baik dalam mengelola Sumber Daya Alam Migas setelah 70 tahun Blok Rokan dikelola oleh investor kontrak karya dan kontrak kontraktor kerja sama (KKKS),” katanya dalam keterangannya yang diterima Ruangenergi.com, (10/08).
Dia menambahkan, beberapa catatan tentang keberadaan Blok Rokan sejak berproduksi tahun 1951 hingga diserah terimakan kepada Pertamina (08 Agustus 2021) :
Blok Rokan dicatat pencapaian produksi 11,69 miliar barel.
Blok Rokan juga dicatat dalam sejarah bahwa berproduksi tertinggi pada tahun 1973 menyentuh angka 1 juta barel per hari, rata-rata kontribusi produksi blok Rokan ini sejak tahun 1951 – 2020 adalah sekitar 46% dari produksi nasional Indonesia.
Blok Rokan juga dicatat memberikan kontribusi yang sangat besar dan luar biasa dalam memberikan andil bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia dan Propinsi Riau pada khususnya.
“Namun, apakah benar catatan tersebut Blok Rokan sejak beroperasi produksi tahun 1951 sampai dengan Agustus 2021 minyak yang diproduksi sekitar 11,69 miliar barel dan memberikan kontribusi yang sangat besar dan luar biasa dalam memberikan andil bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia dan Propinsi Riau pada khususnya.?,” tanyanya.
“Pada tahun 2004 atau 53 tahun setelah Blok Rokan produksi, kami pernah berkerja di wilayah usaha hulu migas Sumatera Bagian Utara dimana Blok Rokan ada diwilayah Riau Daratan,” paparnya.
Ia mengatakan, ketika itu dirinya mendapatkan (catatan terbalik atau kontradiksi) tentang keberadaan Wilayah Kerja Usaha Hulu Migas Blok Rokan yang dicatatkan memberikan kontribusi yang sangat besar dan luar biasa dalam memberikan andil bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia dan Propinsi Riau pada khususnya.
Daerah Penghasil Migas dan Kemiskinan
Ia menambahkan, dirinya mencoba membuka kembali catatan ketika pernah bertugas tahun 2004 di wilayah kerja usaha hulu migas Sumatera Bagian Utara, dimana Blok Rokan berada.
“Didapat catatan tentang keberadaan Daerah Penghasil Migas yang tidak selalu memberikan kontribusi pendapatan bagi daerah penghasil Migas,” ungkapnya.
Daerah Penghasil Migas dan Kemiskinan diwilayah Sumatera Bagian Utara :
Wilayah Propinsi Riau yang masuk wilayah Usaha Hulu Migas Sumatera Bagian Utara, pada tahun 1975 sampai dengan tahun 1977 tercatat pernah menjadi penyumbang terbesar produksi minyak mentah nasional indonesia dengan pencapaian produksi sekitar 1,6 juta barrel per hari.
Namun pada kenyataannya propinsi ini di Tahun 2004 disaat produksi Nasional menurun menjadi 1,1 juta barrel per hari dan 70% dari produksi nasional tersebut tetap dipasok dari Propinsi Riau, ternyata Propinsi Riau adalah Provinsi termiskin ke-13 di Indonesia, dengan persentase penduduk Prop Riau yang miskin mencapai 22.20 persen dari total penduduk Riau 4,55 juta jiwa (tahun 2004).
Di sisi lain untuk tahun yang sama (2004) di Provinsi Nangroe Aceh Darrusalam yang berada diwilayah kegiatan usaha hulu migas Sumatera Bagian Utara, tercatat menyandang Propinsi ke empat termiskin di Indonesia. Padahal ketika terjadinya gangguan keamanan yang mengakibatkan produksi migas (LNG) di Tahun 2001 terhenti selama 6 (enam) bulan, negara kehilangan kesempatan pendapatan sebesar lebih dari Satu Milyar USD, artinya penerimaan negara dari hasil migas (LNG) di aceh sangat besar, tetapi Aceh menjadi propinsi ke empat termiskin di Indonesia.
“Dari dua catatan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa keberadaan daerah produksi usaha hulu migas diragukan sebagai pemberi kontribusi yang sangat besar dan luar biasa dalam memberikan andil bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia khususnya mengangkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah tempatan dimana produksi Migas berada,” tegasnya.
Lepas dari perbedaan catatan tersebut diatas, kiranya dalam menilai kegiatan usaha hulu migas tidak serta merta dinilai secara alasan “KLISE” yakni kegiatan usaha hulu migas dinilai sebagai kegiatan yang beresiko tinggi, teknologi tinggi dan pendanaan tinggi, kemudian melakukan pembenaran negara harus memberikan pengembalian biaya produksi (cost recovery) tinggi kepada investor, seperti hal adanya K3S dengan cost recovery 90% : 10%.
Disisi lain migas yang di produksi tidak terbarukan, dan daerah produksi migas tidak mengangkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
“Dengan pengalihan kelola produksi Hulu Migas di Blok Rokan Riau kepada Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara, kami percaya melalui Pertamina blok Rokan bisa membuktikan memberikan kontribusi yang sangat besar dan luar biasa dalam memberikan andil bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia dan Propinsi Riau pada khususnya,” tutupnya.