Kunci Sukses Pembangunan Kilang Mini Dekat Dengan Sumber

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com -Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Soerjaningsih, mengatakan sebesar 75 persen dari crude dalam negeri ini sudah di serap oleh kilang Pertamina. Pemerintah memastikan bahwa kunci sukses pembangunan kilang mini itu dekat dengan sumber.

Dirinya melihat disini sumber yang masih cukup untuk membuat kilang mini dan kilang besar adalah lapangan Banyu Urip. Namun demikian, kita tahu bahwa disana pernah ada kilang mini TBU, yang saat ini sudah tidak beroperasi karena memang tidak ekonomis menggunakan crude yang dari lapangan Banyu Urip.

“Karena crude yang dari Banyu Urip itu, crude yang sangat bagus dan diminati oleh pasar, sehingga harganya sangat baik (mahal),” katanya.

Ia menambahkan, rencana pemerintah saat ini bukan hanya untuk kilang mini, tetapi ada tujuh penugasan yang diberikan Pertamina untuk membangun kilang yakni RDMP Balongan, Balikpapan, Cilacap, Dumai, Plaju, dan Grass Root Rifenery (GRR) Bontang dan Tuban.

“Saat ini kita fokus untuk menyelesaikan kilang-kilang yang tujuh tersebut,” tukasnya.

Klaster Kilang

Sementara, Direktur Eksekutif Watch Energy Mamit Setiawan, mengungkapkan, pada 2017 lalu, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membatalkan lelang untuk delapan (8) klaster kilang mini, waktu itu zamannya Menteri ESDM, Ignasius Jonan.

Adapun ke delapan klaster pembangunan kilang yang dibatalkan yakni, klaster 1 ada di Sumatera; klaster 2 ada di Selat Panjang, Maluku; klaster 3 itu ada di Riau; klaster 4 itu ada di Jambi; klaster 5 di Sumatera Selatan; klaster 6 di Kalimantan Selatan; klaster 7 di Kalimantan Utara; dan klaster 8 ada di Maluku.

“Pada 2017 itu dibatalkan, mungkin pada saat ini pemerintah fokus pada program RDMP dan GRR, di mana bicara tentang investasi sebenarnya hampir sama, yakni sama-sama besar. Tapi manfaatnya lebih besar membangun kilang RDMP dan GRR,” urainya.

Jadi, kata Mamit, urgensinya sekarang sudah beralih ke kilang mini sepertinya, tetapi bagaimana dapat bisa meningkatkan kapasitas kilang untuk ketahanan energi nasional.

“Impor kita sudah cukup besar dan pemerintah berkomitmen untuk mengejar ketertinggalan produksi dengan membangun kilang yang cukup signifikan” paparnya.

Kilang Dekat Lapangan Minyak

Sementara, menurut, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), John Karamoy, kalau kita kembali ke tahun-tahun awal perminyakan di Indonesia itu dibangunlah kilang dekat dengan lapangan minyak yang ada pada waktu itu.

Ia menjabarkan, konsep pada waktu itu adalah membangun kilang dekat dengan lapangan minyak. Bukan berarti kilang yang dekat dengan lapangan itu dekat dengan pemakai.

“Di Indonesia timur memang ada kilang mini (Kilang Kasim) kapasiy produksi 10 barel per hari, masalahnya semua kebutuhan BBM Indonesia bagian timur itu harus diangkut dari kilang-kilang yang ada di Indonesia bagian barat dan di distribusikan ke seluruh pelosok Indonesia, dan inilah yang paling mahal, sehingga timbullah satu ide apakah kilang mini kalau dekat dengan lapangan yang ada tentunya transport dari crude oil nya sendiri kan murah, tetapi produk yang murah,” katanya.

Ia menjelaskan, konsep saat ini adalah kilang harus dekat dengan lapangan minyak dan juga dekat dengan konsumen, agar konsumen itu dapat menikmati dengan harga yang relatif lebih rendah. Karena biaya distribusi itu hampir tidak ada atau sangat kecil.

“Jadi, bahwa ini akan membangun kilang di Indonesia bagian timur itu memang bertolak dari satu anggapan bahwa lebih baik kilang itu dekat dengan pengguna terutama rakyat yang berada di wilayah 3 T (tertinggal, terdepan dan terluar) ketimbang harus mendistribusikan yang memakan cost cukup besar,” ungkapnya.

Return Terhadap Investasi

Menanggapi hal tersebut, Komite Penanaman Modal BKPM, Toto Nugroho, menambahkan, kalau dari segi investor cukup simpel. Yang pasti harus return sebaik-baiknya terhadap investasi.

“Satu hal yang mungkin saya perlu sampaikan, bisnis kilang itu berbeda dengan yang lain, tidak sembarang investor bisa masuk ke dalam bisnis ini. Contohnya kilang-kilang besar seperti Balikpapan, Tuban, itu investasinya dari US$ 6 miliar sampai US$ 12 miliar, untuk kapasitas 250 ribu barel per hari plus integrasi,” tuturnya.

Return-nya pun bukan sesuatu yang fantastis, karena integrated untuk kilang-kilang yang besar seperti ini sudah dapat untung 12 persen itu sangat bagus. Tetapi, rata-rata return yang diperoleh sekitar 10-11 persen, itu menjadi satu kendala bagi investor.

Sementara, untuk yang kilang-kilang mini produksi 10-20 ribu barel per hari investasinya cukup beragam antara us$ 50 juta – US$ 120 juta.

Kembali lagi, jelas Toto, kunci utamanya kalau memang kalau case seperti di Bojonegoro yang dapat ditemukan, mendapat kilang yang dekat dengan sumber dan dekat dengan konsumsi harga lebih bagus. Itu return nya akan sangat baik untuk investor, kemungkinan return lebih baik jika dihitung satu persatu kilang yang akan dibangun infrastruktur yang sangat besar.

“Nah, ini yang harus kita cari, di mana, di Indonesia timur, seperti Kilang Kasim yang menggunakan crude walio yang hasil produksinya dikirim di disekitar wilayah tersebut. Kalau kita bisa menemukan case seperti itu, harusnya return bisa lebih baik, dan untuk investor akan sangat lebih baik untuk menanamkan modalnya,” tandasnya.(GLH)