Jakarta,ruangenergi.com– Langkah PT Pertamina Power berubah branding menjadi Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) menarik untuk dicermati.
Mengusung kalimat New and Renewable Energy, menimbulkan kepastian bahwa kini Pertamina tidak lagi membawa dirinya hanya berbisnis energi fosil semata. Namun juga membuka diri masuk ke dalam bisnis energi baru dan energi terbarukan.
“Energy transition is a long journey, tapi kita harus bisa melaksanakannya dengan mindset yang baru, harus memiliki cara-cara yang baru karena dalam pengembangan energi baru dan terbarukan ini tantangannya sangat besar” kata Dannif Danusaputro, CEO Pertamina NRE di Jakarta, saat menghadiri peluncuran brand transformation Kamis (3/11/22).
Bagi Dannif, pria yang pernah duduk sebagai Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas (Mansek),menambahkan, bahwa brand transformation ini menegaskan peran strategis Pertamina NRE dalam mengurangi jejak karbon yang dihasilkan Pertamina melalui pengembangan green businesses. Dengan perubahan ini Pertamina NRE siap untuk melakukan terobosan-terobosan positif demi mempercepat transisi energi.
“Pertamina NRE adalah sub holding Pertamina yang menjadi ujung tombak untuk membangun bisnis masa depan Pertamina, sekaligus mitra strategis pemerintah dalam mencapai target net zero emission tahun 2060 melalui tiga pilar strategisnya, yaitu solusi rendah karbon (low carbon solutions), pengembangan energi baru dan terbarukan, dan pengembangan bisnis energi masa depan,” jelas Dannif lagi.
Komitmen Kembangkan Bisnis Hijau
Mengutip perkataan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam media Energia-Weekly,24 Oktober 2022, edisi no. 43 tahun LVIII, disebutkan bahwa melalui Sub holding PT Pertamina Power Indonesia (PT PPI), Pertamina bertujuan untuk menjadi salah satu produsen Energi Baru dan Terbarukan (EBT) utama di Indonesia.
Pertamina sudah berkomitmen untuk mengembangkan Bisnis Hijaunya dengan investasi besar-besaran. Bekerja sama dengan perusahaan global, PT PPI melakukan akuisisi dan kemitraan (kerjasama) dengan perusahaan EBT yang sudah ada, hal ini dimaksudkan untuk transfer knowledge dan mempercepat penetrasi bisnis EBT.
Salah satu contohnya adalah Joint Study Agreement (JSA) antara PPI dan Pondera dalam kerjasama ‘Integrated Offshore Wind Energy & Hydrogen Production Facility’. JSA ini merupakan tindak lanjut dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Kerjasama lainnya adalah JSA antara Pertamina (Persero), PEP dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (JOGMEC).
Dalam kerja sama ini, Pertamina dan Jogmec berkolaborasi dalam kegiatan CO2 Injection di Lapangan Jatibarang melalui studi bersama tahap awal untuk lebih mendukung Full Field Scale CO2-EOR sebagai metode untuk meningkatkan produksi crude dan mengurangi emisi karbon dioksida di Lapangan Jatibarang, Jawa Barat.
Selain itu, Pertamina juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti dengan ExxonMobil untuk mengkaji penerapan teknologi Carbon Capture & Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS), juga dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) dalam kerja sama studi aplikasi teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan produksi hydrogen.
Pertamina juga menjalin kerja sama dengan Masdar, anak usaha Mubadala dari UAE, dalam pengembangan PLTS, serta Pondera dari Belanda, dalam pengembangan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu). Juga dengan ACWA Power Arab Saudi dalam kerja sama Pengembangan Energi Hijau.
Kerja sama dengan Perhutani terkait Nature Based Solutions, Pertamina dan Jababeka sepakat untuk melakukan kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan Green Industrial Estate. Pertamina dengan PT PLN (Persero), PT Pupuk Indonesia (Persero), dan PT Pertamina (Persero), juga melakukan kerjasama pengembangan Green Industry Cluster di Indonesia.
Kerja sama Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan Clean-LNG dan Clean-Gas dari terminal LNG Bontang. Kerja sama dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) dan Mitsubishi Coorporation, dalam pengembangan Blue/Green Hydrogen dan Blue/Green Ammonia di Indonesia.
Kolaborasi dengan berbagai perusahaan, baik nasional maupun global, diperlukan untuk mencapai target NZE, terutama untuk mengatasi tantangan transisi energi dari sisi investasi, operasional, dan belanja modal.. Untuk memastikan implementasi dekarbonisasi, Pertamina telah mengembangkan Key Performance Indikator (KPI) pada seluruh subholding-nya untuk mencapai target dekarbonisasi. Perencanaan jangka panjang Pertamina juga sudah sejalan dengan pengembangan Green Business dan inisiatif
dekarbonisasinya.
Pertamina mengalokasikan CAPEX sebesar 14% untuk Energi Bersih, Baru, dan Terbarukan. Komitmen Pertamina ini sejalan dengan upaya pemanfaatan sumber daya dalam negeri untuk memasok energi dalam negeri menuju pembangunan hijau dan dekarbonisasi. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata investasi International Oil Company di EBT sebesar 4,3%.
Pertamina menargetkan untuk meningkatkan bauran produk EBT dari 1% pada tahun 2021 menjadi 17% pada tahun 2030. Pertamina juga sudah melaksanakan program penurunan emisi yang sudah mengacu pada Indonesia Nationally Determined Contribution (NDC): Pencapaian Penurunan Emisi Pertamina 2010 – 2021 sudah mencapai 29%, mencapai target 2030 dari NDC Indonesia.
“Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kami telah menyusun roadmap untuk target net zero emission (NZE) sesuai dengan target pemerintah yaitu 2060 atau lebih cepat. Roadmap Pertamina NZE ini mencakup rencana strategis jangka panjang perusahaan yang selaras dengan aspirasi dekarbonisasi dan bisnis energi bersih dan hijau,” kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dikutip dari Energia-Weekly,24 Oktober 2022, edisi no. 43 tahun LVIII.
Nicke menuturkan,cara cepat pengembangan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan adalah melalui partnership sebagai jawaban atas tiga tantangan global, yaitu teknologi, finance, dan human capital.
“Jadi partnership menjadi kunci untuk mengakselerasi pengembangan energi hijau, bisnis hijau Pertamina. Kita juga sudah bekerja sama dengan beberapa perusahaan global. Kita mulai dari existing business dengan melakukan pengembangan CCUS. Kita juga sudah berhasil menemukan satu basin dengan formasi yang potensinya mencapai 12 Giga Ton CO2 untuk storage dan bisa segera digarap. Itu baru satu lokasi. Di beberapa blok migas, kita juga sudah melakukan CO2 injection yang membuat produksi meningkat dengan sistem partnership. Kita juga masuk di bisnis-bisnis baru, seperti pengembangan hydrogen, EV battery ecosystem, dan sustainable efficient fuel. Jadi, ketika kita bicara dengan partner-partner bisnis di luar, mereka sangat tertarik untuk ikut investasi di Indonesia. Karena kita punya resources dan market. Dua hal ini belum tentu dimiliki oleh negara lain,”jelas Nicke.
Nicke mengungkapkan,memang saat ini kelihatannya gloomy dengan adanya ketidakstabilan geopolitik global. Namun hal ini harus dilihat secara positif dari sisi energi bersih. Positifnya adalah dengan harga migas yang tinggi, maka harga keekonomian energi baru terbarukan menjadi meningkat. Karena sekarang bisa jadi lebih murah. Tentu ini meningkatkan appetite investor dan menjadi momentum yang sangat baik untuk mengakselerasi EBT di Indonesia.