Jakarta,ruangenergi.com-PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) berhasil melakukan tajak sumur pertama yang merupakan bagian dari pengembangan area steamflood baru.
EVP Upstream Business PHR Edwil Suzandi mengatakan, keberhasilan tajak sumur perdana tersebut yakni berada di Lapangan North Duri Development (NDD) Area 14 Stage-1.
“Ini merupakan pengembangan area steamflood baru setelah alih kelola Blok Rokan oleh Pertamina. Semoga selamat dan berkah untuk menambah produksi,” kata Edwil, Selasa (20/6/2023).
Edwil menambahkan, keberhasilan ini merupakan lanjutan dari pengembangan ‘new steamflood’ proyek Lapangan Duri Area 14 dengan menggunakan plan of development (POD) yang sudah disetujui pada November 2015 lalu.
“Dalam rangka penambahan cadangan dan peningkatan recovery di Wilayah Kerja (WK) Rokan,” katanya.
Untuk diketahui, steamflood merupakan sebuah metode enhanced oil recovery (EOR) di mana uap diinjeksikan ke dalam reservoir untuk meningkatkan angka recovery minyak. Ruang lingkup proyek pengembangan lapangan NDD A14 stage-1 tersebut meliputi pemboran sebanyak 68 sumur, di mana sebanyak 47 sumur produksi (producer), 15 sumur steam injector dan 6 sumur observasi) dengan estimasi cadangan total proyek sebesar 6.74 MMBO (juta barel minyak).
Sejarah EOR
Terpisah,Pengamat dan praktisi sektor energi Salis Aprilian dalam tulisan opininya, yang dikutip dari situs digitalenergyasia.com, mengatakan bahwa sejarah Enhanced Oil Recovery (EOR) telah dimulai awal abad ke 19, di tahun 1920-an, ketika para insinyur perminyakan menginjeksikan air produksi ke lapisan-lapisan (reservoir) minyak untuk menambah tekanan sekaligus menyapu minyak di lapisan yang dituju.
Lalu muncul teori-teori dan aplikasi EOR dengan berbagai macam metoda. Semua bertujuan menambah minyak yang diproduksikan baik dengan cara fisika maupun kimia atau kombinasi keduanya.
“Secara definisi, EOR adalah suatu proses penambahan energi dari luar reservoir untuk meningkatkan perolehan minyak (oil recovery). Ini dapat berupa secondary recovery (perolehan sekunder) yang terdiri dari injeksi air, atau gas. Atau, berupa tertiary recovery (perolehan tersier) yang antara lain: injeksi kimia, uap, panas, dan lain lain,” jelas Salis.
Salis menjelaskan dalam tulisannya, bahwa sebagian besar lapangan di Indonesia adalah sudah mature, apalagi peninggalan KKKS yang sudah selesai masa kontraknya yang sudah berpuluh tahun dikelolanya. Maka jalan terbaik adalah melakukan EOR secara intensif dan massive, bukan menargetkan jumlah pemboran sumur baru di area lama.
Bahkan, dibandingkan dengan pemboran eksplorasi, metoda EOR memiliki risiko yang lebih rendah dengan probabilitas yang lebih besar dalam perolehan produksi. Ini karena sisa-sisa minyak masih ada di lapangan produksi. The oil is there!
“Bukan berarti pemboran eksplorasi tidak penting, tapi setidaknya harus seimbang antara kegiatan eksplorasi dan EOR. Kita perlu keberhasilan pemboran eksplorasi untuk memperpanjang umur industri migas di Indonesia. Tanpa pemboran eksplorasi, suatu perusahaan atau negara akan cepat bangkrut jika diminta terus meningkatkan produksi, karena sifat migas yang non-renewable. Dan, EOR diperlukan untuk menambah Recovery Factor suatu lapangan yang sudah ada,”tegas Salis.
Begitu pula pemboran eksploitasi di lapangan-lapangan yang sudah mature (eksisting) yang selama ini sangat diandalkan untuk peningkatan produksi, tidak akan banyak bararti kalau tidak dibarengi dengan EOR.
Peningkatan produksi melalui pemboran sumur eksploitasi di daerah eksisting ini hanya berhasil sesaat (3-6 bulan). Setelah itu laju produksi akan turun lebih cepat dan curam. Secara keekonomian pun dengan membandingkan biaya pemboran dan kesuksesan peningkatan produksi yang dihasilkannya tidak selalu menggembirakan.
Untuk itu, era EOR saat ini harus bisa menciptakan kesuksesan-kesuksesan baru dalam upaya peningkatan produksi dari lapangan-lapangan eksisting yang masih menyimpan sisa cadangan cukup besar. Langkah ini harus terus didorong untuk diimplementasikan secara massive dan konsisten.
Langkah pertama adalah keharusan menginjeksikan kembali air yang terproduksikan sebagai bagian dari menaikkan tekanan reservoir (pressure maintenance) maupun injeksi air yang berpola (patterned water flooding). Ini dapat dilakukan dengan mengubah (convert) sumur produksi menjadi sumur injeksi, atau membor sumur baru khusus untuk sumur injeksi.
Semua pihak harus memaklumi adanya aktifitas pemboran sumur injeksi yang memang tidak menghasilkan minyak. Namun akan menambah produksi dari sumur sekelilingnya dalam waktu yang relatif lama.
Sembari menjalankan perolehan sekunder ini, dilakukan penelitian metoda EOR tersier mana yang cocok. Kalau bisa, diutamakan dulu dengan menggunakan CO2 sebagai fluida injeksi. Meski hal ini cukup mahal tapi setidaknya selaras dengan program CCUS (Carbon Capture Utilization and Storage), NZE (Net Zero Emission) dan/atau ESG (Environmental, Social, and Government), yang dalam jangka panjang memungkinkan perusahaan mendapatkan kredit dan peringkat yang terbaik di sektor migas.
Untuk mengelola dan berbagi risiko, serta menjamin adanya kehandalan operasional, terutama menyangkut keharusan “pasti pas” dalam injeksi bahan kimia maupun mikroba, perlu dibuat terobosan Bisnis Model yang berbeda dengan yang sebelumnya.
Sebagai contoh, perusahaan hulu migas yang memiliki hak operatorship suatu lapangan EOR bekerjasama dengan perusahaan yang memproduksi bahan kimia atau mikroba dengan menganut sistem bagi hasil dan berbagi risiko. Vendor bahan kimia bukan hanya menjual barang dan/atau memberikan jasa melakukan dan memonitor injeksi, tetapi harus dilibatkan dalam organisasi dan sebagian pembiayaan operasionalnya. Jadi semacam Joint Operating Body (JOB).
Dengan demikian, sukses tidaknya suatu proyek EOR ini akan dapat dinikmati dan menjadi bahan evaluasi bersama antara operator dan pengembang bahan kimia maupun mikroba melalui riset yang mereka lakukan. Maka, kriteria “pasti pas” dalam menentukan kualitas dan kuantitas material yang diinjeksikan akan selalu terjaga dan semakin ada peningkatan kinerja.
Pemerintah juga sudah siapkan aturannya melalui skema Cost Recovery maupun Gross-Split. Keduanya memungkinkan pemberian insentif untuk KKKS yang melakukan EOR, baik berupa tambahan split maupun insentif yang lain.
“Jadi, selamat kembali ke era EOR, era seabad yang lalu ketika teknologi ini ditemukan, dan puluhan tahun yang silam ketika Pertamina cukup massive melakukannya melalui Badan Operasi Bersama atau Joint Operating Body (JOB) yang terbukti sukses melakukan Water Flooding di berbagai tempat. Kalau pun ada kekurangannya, kita dapat memperbaikinya dengan lebih objektif dan transparan, sehingga tidak menjadi kecurigaan ahli hukum di KPK,”pungkas Salis mengakhiri tulisannya.