Jakarta Pusat, Jakarta – Kalimantan Timur (Kaltim) telah lama berdiri sebagai tonggak sejarah dan praktik industri minyak dan gas (migas) Indonesia. Dengan Balikpapan yang melegenda sebagai “Kota Minyak,” Kaltim tak hanya menjadi saksi sejarah energi nasional, tetapi kini bertransformasi menjadi benteng utama ketahanan energi bangsa di era modern.
Peran strategis ini ditegaskan oleh Kepala Perwakilan SKK Migas Kalimantan dan Sulawesi (Kalsul), Azhari Idris, yang menyebut wilayah Kalsul, dengan 46 Wilayah Kerja (WK) yang dikelola, menyumbang kontribusi masif, yakni sekitar 30% lifting gas dan 12% lifting minyak nasional.
“Angka ini menegaskan posisi Kaltim sebagai pemain kunci dalam menjaga kemandirian energi Indonesia,” ujar Azhari Idris dalam bincang santai virtual bersama ruangenergi.com beberapa waktu lalu.
Aktivitas hulu migas di Kaltim, yang melibatkan entitas strategis seperti Pertamina Hulu Indonesia (PHI), Pertamina Hulu Mahakam (PHM), serta KKKS lain seperti Mubadala Energy dan ENI, jauh melampaui sekadar eksplorasi dan produksi. Sektor ini adalah penopang vital ekonomi daerah, yang menyerap ribuan tenaga kerja lokal, mendorong pembangunan infrastruktur, dan memutar roda ekonomi rakyat.
Di tengah tuntutan global akan efisiensi dan keberlanjutan, sektor hulu migas Kaltim tengah menjalani transformasi besar. Penerapan teknologi digital menjadi langkah maju, mulai dari sistem remote monitoring hingga eksplorasi berbasis data. Bahkan, Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning kini digunakan untuk menganalisis cadangan, meminimalkan risiko pengeboran, dan mempercepat proses produksi.
Komitmen ESG
Komitmen terhadap aspek keberlanjutan (ESG) menjadi prioritas utama. Setiap KKKS di Kalsul kini memperkuat strategi menuju industri hijau, mencakup program zero flaring, pengelolaan limbah yang ketat, dan upaya pengurangan emisi karbon.
Sebagai salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas utama di Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur melalui Pertamina Hulu Indonesia (PHI), Pertamina Hulu Energi (PHE) menegaskan komitmennya dalam transisi energi hijau di sektor hulu migas. Bukti nyata komitmen ini diungkapkan oleh Direktur Investasi & Pengembangan Bisnis PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Dannif Utojo Danusaputro, melalui rencana ambisius perusahaan untuk membangun dua CCS Hub (Carbon Capture Storage) di Indonesia.
“PHE akan membangun 2 CCS Hub dan beberapa CCS satelit yang akan melayani emitters domestik dan internasional. Kami perlu berkolaborasi dengan strategic partners untuk membangun CCS Hub dan satelit,” kata Dannif dalam keterangannya.
PHE Group, menurut Dannif, memiliki potensi kapasitas penyimpanan emisi karbon di saline aquifer dan depleted oil/gas field sebesar 7,3 giga ton (GT) yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Rencananya, PHE sedang mengembangkan satu CCS Hub di wilayah Indonesia bagian barat, yakni Asri Basin (potensi 1,1 GT), dan satu di Indonesia timur, yakni Central Sulawesi Basin (potensi 1,9 GT).
Menariknya, PHE juga akan membangun CCS/CCUS Satelit di tiga lokasi, yaitu di South Sumatera Basin, CO2 EOR Sukowati, dan yang relevan dengan bahasan ini, di East Kalimantan (Kalimantan Timur).
Selain rencana PHE, teknologi CCS sendiri telah diterapkan oleh KKKS lain di beberapa lapangan Kaltim untuk mendukung target net zero emission Indonesia tahun 2060.
Prospek masa depan industri migas Kaltim kian cerah dengan adanya temuan cadangan baru yang signifikan. Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Kalsul, Wisnu Wardhama, menjelaskan mengenai penemuan gas raksasa (giant discovery) oleh Eni Indonesia di Wilayah Kerja North Ganal.
Penemuan ini diperkirakan memiliki cadangan awal sebesar 5 triliun kaki kubik (tcf) Gas in Place, menjadikannya salah satu dari tiga penemuan eksplorasi teratas dunia pada tahun 2023. Proyek Strategis Nasional (PSN) ini telah memperoleh persetujuan Plan of Development (PoD) pada Agustus 2024.
Pengembangan ini tidak hanya akan melahirkan hub produksi baru bernama Northern Hub di Cekungan Kutei dengan kapasitas hingga 1 miliar kaki kubik gas per hari (Bcfd), tetapi juga akan mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas di Kilang LNG Bontang. Saat ini, Eni bahkan telah menjadi pemasok 53% gas alam di Kalimantan Timur.
Meskipun capaian angka sangat tinggi, fokus SKK Migas dan KKKS juga tertuju pada penyelesaian kendala, mulai dari perizinan yang belum seragam hingga isu hukum dan fiskal.
“Sinergi antara KKKS, SKK Migas, dan Pemerintah Daerah menjadi kunci kelancaran operasi di masa mendatang, memastikan komitmen tidak hanya pada target lifting, tetapi juga dalam memberikan multiplier positif dan manfaat dari keberadaan hulu migas untuk daerah,” tutup Azhari Idris.
Kaltim, melalui kombinasi teknologi, komitmen hijau (didukung oleh rencana besar PHE untuk CCS), dan potensi cadangan raksasa, semakin memperkuat posisinya sebagai lokomotif energi nasional sekaligus pionir keberlanjutan di Indonesia.












