Mengubah Batu Bara Jadi Bahan Bakar Mobil dan LPG

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruang Energi– Kesungguhan dan dukungan pemerintah Afrika Selatan telah menjadikan Sasol sebagai perusahaan terdepan dalam pengembangan teknologi Gas to Liquid (GTL) dan Coal to Liquid (CTL). Selain Afrika Selatan, China sebagai negara dengan cadangan batubara nomor empat di dunia juga ikut mengembangkan teknologi CTL.

Untuk belajar teknologi CTL ini, kami berkesempatan datang ke salah satu CTL plant di China. Dari Shanghai kami harus naik pesawat lagi selama 2 jam menuju kota tujuan. Di kota ini kualitas udara tidak sebaik di Shanghai. Selain banyak PLTU dengan teknologi lama yang beroperasi, adanya CTL plant menghasilkan gas emisi yang cukup besar.

Dari kunjungan itu dan beberapa literatur yang kami pelajari, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar teknologi CTL bisa dikembangkan saat ini. Pertama keekonomian proyek. Studi yang dilakukan oleh Department of State Amerika pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa CTL akan ekonomis jika harga minyak diatas $55/barrel.

Di tahun 2017 Sasol mengindikasikan tidak akan berinvestasi di CTL apabila harga minyak dibawah $80/barrel. Yang membedakan limit keekonomian antara studi tahun 2007 dan 2017 salah satunya adalah banyaknya persyaratan lingkungan yang harus mereka penuhi, sehingga berdampak pada investasi yang membengkak.

Kedua menyangkut ketersedian air. CTL memerlukan air yang cukup besar. Selain utk memproduksi hydrogen juga digunakan untuk water cooling. Selain itu air yang sudah digunakan juga harus dibangunkan saluran pembuangan yang mungkin panjang sekali.

Ketiga menyangkut emisi karbon dioksida. Di Amerika emisi gas buang ini harus diproses agar memenuhi persyaratan lingkungan misal dengan cara Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) yang biayanya mahal.

Keempat terkait harga batubara yang berfluktuasi yang tidak selalu mengikuti harga minyak (lihat tulisan kami di IG sebelumnya). Bisa jadi saat harga batubara naik, harga minyak malah turun. Ini mempersulit keekonomian proyek CTL.

Bagaimana dengan GTL? Seperti CTL, GTL juga punya tantangan tersendiri agar bisa diimplementasikan menjadi proyek yang menguntungkan. Tantangan yang utama berkaitan dengan harga gas dan harga crude oil. Tergantung dari besarnya plant yang dibangun dan teknologi yang dipilih, harga gas dan harga crude oil akan menentukan keekonomian proyek GTL. Tidak bisa hanya bergantung harga gas.

Ada studi yang mengatakan kalau harga dibawah $4/mmbtu maka proyek GTL akan ekonomis. Sebenarnya ini kurang tepat karena pada saat harga gas misalnya $4/mmbtu dan harga crude oil $40/bbl, kemungkinan besar proyek ini tidak akan ekonomis. Tapi kalau harga gas $4/mmbtu dan harga crude oil diatas $80/bbl maka proyek menjadi ekonomis.

Apa mungkin harga gas tidak mengikuti harga crude oil? Ini mungkin sekali tergantung kontraknya. Pada tahun 2017, Sasol juga mengindikasikan tidak akan berinvestasi di GTL kalau harga crude dibawah $80/bbl walaupun dengan harga gas yang murah sekali di Amerika Serikat (bisa dibawah $3/mmbtu).

Banyak hal yang mempengaruhi batas keekonomian dari proyek GTL ini. Selain harga gas dan crude oil, jenis teknologi dan kapasitas produksi juga mempengaruhi. Jenis teknologi akan menentukan besaran Capital Expenditure (Capex) dan Operating Expenditure (Opex).

Secara umum dapat disimpulkan teknologi CTL akan lebih mahal daripada GTL dan juga lebih banyak menghasilkan emisi gas buang yang merusak lingkungan. Tergantung dari cadangan sumber daya alam yang dipunyai sebuah negara, komitmen untuk memelihara lingkungan, tujuan pengembangan teknologi tersebut dan nilai keekonomian yang akan diraih. Semua itu akan mempengaruhi strategi sebuah negara dalam mengelola sumber daya alam mereka. Mari kita maju lewat teknologi yang ramah lingkungan dan berkolaborasi dengan ciptaan-Nya. Insyaa Allah.(Arcandra Tahar, Mantan Wamen ESDM)