Migas RI Banyak PR, Pemerintah Perlu Siapkan Terobosan Baru; Selamat Datang Dirjen Migas Baru

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta – Industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia tengah berada di persimpangan. Di satu sisi, kebutuhan energi terus melonjak seiring pertumbuhan ekonomi dan populasi. Di sisi lain, produksi minyak nasional cenderung menurun, infrastruktur belum merata, sementara hilir migas masih dibayangi isu harga dan distribusi.

Sejumlah tantangan ke depan, dari sisi hulu, midstream, dan hilir akan dihadapi oleh pejabat Direktur Jenderal Minyak dan Gas yang dikabarkan akan dilantik oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, Jumat pagi (29/08/2025). Entah siapa akhirnya dipilih oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mengemban jabatan Direktur Jenderal Minyak dan Gas.

Dalam catatan ruangenergi.com, nama-nama kandidat Dirjen Migas adalah:

  • Alimuddin Baso (Inspektur II, Inspektorat Jenderal ESDM)

  • Julian Ambassadur Shiddiq (Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara, ESDM)

  • Laode Sulaeman (Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas, Ditjen Migas)

  • Mirza Mahendra (Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi, Ditjen Migas)

  • Noor Arifin Muhammad (Direktur Teknik dan Lingkungan Migas, Ditjen Migas).

Namun, Alimuddin Baso telah menjadi Direktur Pemasaran dan Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Kemudian Mirza Mahendra telah menjadi Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PT PGN Tbk.

Tantangan di sektor hulu, midstream, hingga hilir harus ditangani dengan strategi terintegrasi.  Tantangan terbesar di sektor hulu adalah penurunan alamiah produksi lapangan tua. Di sisi lain, eksplorasi lapangan baru masih menghadapi risiko keekonomian dan lambatnya realisasi investasi. Untuk itu, pemerintah mendorong percepatan Plan of Development (PoD), pemanfaatan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), serta pemberian insentif fiskal agar investor tertarik masuk ke wilayah frontier seperti Andaman, Papua, dan Laut Natuna.

Tanpa investasi eksplorasi yang agresif, lifting nasional akan sulit dikejar. Karena itu, pemerintah diharapkan bisa membuka ruang fleksibilitas kontrak dan memperkuat perizinan yang lebih sederhana.

Midstream: Infrastruktur Gas & Integrasi Energi

Di sektor midstream, masalah utamanya adalah ketimpangan infrastruktur. Pipa gas belum terintegrasi penuh dari Sumatera, Jawa, hingga Kalimantan, sehingga pasokan sering tidak efisien. Pemerintah mendorong percepatan pembangunan jaringan pipa transmisi serta penyelesaian proyek LNG regasifikasi untuk memperkuat ketahanan energi.

Selain itu, integrasi dengan energi baru terbarukan (EBT) juga menjadi perhatian. Gas akan menjadi jembatan transisi energi. Maka pengembangan terminal LNG dan jaringan distribusi harus dipercepat, agar gas bisa menjangkau kawasan industri maupun pembangkit listrik dengan harga kompetitif.

Hilir: Distribusi, Subsidi, dan Harga

Sisi hilir menghadapi tantangan tingginya konsumsi BBM bersubsidi dan distribusi yang belum sepenuhnya efisien, terutama di wilayah timur Indonesia. Fluktuasi harga minyak dunia juga menekan APBN.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah memperkuat digitalisasi SPBU untuk mengawasi distribusi subsidi agar lebih tepat sasaran. Selain itu, program BBM Satu Harga terus diperluas ke daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal) agar masyarakat mendapatkan akses energi yang setara.

Pemerintah perlu menyeimbangkan antara menjaga daya beli masyarakat dengan keberlanjutan fiskal negara. Solusi jangka panjang adalah memperbesar porsi gas dan energi alternatif agar tekanan pada BBM bisa berkurang.

Dengan kombinasi strategi di hulu, midstream, dan hilir, pemerintah berharap industri migas tetap menjadi pilar energi nasional dalam masa transisi menuju energi bersih.

Selamat datang Dirjen Migas baru. Selamat bekerja!