Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai bahwa energi nuklir bukan menjadi pilihan terakhir, akan tetapi menjadi pengganti energi masa depan.
Sebagaimana tercantum dengan rencana Grand Strategi Energi Nasional (GSEN) bahwa nuklir akan menjadi salah satu pilihan dalam menuju net zero emission di 2060 yang akan datang.
“Melalui rencana tersebut, harus merubah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dimana nuklir menjadi pilihan yang terakhir. Dan saya kira, nuklir tidak menjadi yang terakhir tapi juga merupakan energi masa depan kita pengganti energi fossil,” ujar Mamit dalam sebuah tayangan televisi, IDX Channel, (13/09).
Ia menjelaskan, ada beberapa hal yang menurutnya nuklir bukan menjadi pilihan yang terakhir, melainkan merupakan opsi yang patut di pertimbangkan untuk renewable energy.
“Pertama adalah nuklir dapat beroperasi setiap saat dan tidak tergantung dengan cuaca; Kedua, kapasitas factor di atas 60%; Ketiga, dapat di bangun dimana saja; dan Keempat, biayanya bisa ekonomis di bawah US$ 7 per kwh Apakah Indonesia mampu untuk membangun pembangkit nuklir.? Saya kira sangat mampu untuk membangun,” tuturnya.
Ia menjelaskan, Indonesia sejak 1965 sudah mempunyai dan mengoperasikan reactor nuklir.
Selain itu, Indonesia juga mempunyai lembaga yang bernama BATAN (Badan tenaga Nuklir Nasional) yang terus melakukan penelitian dan juga inovasi dalam mengembangkan atom ini. Untuk lembaga pendidikan, ada ITB, UGM dan STTN yang fokus pada bidang studi nuklir.
“Lantas bagaimana dengan cadangan sumber daya alam yang kita miliki seperti uranium dan juga thorium. Sampai saat ini, kita merupakan negara yang kaya akan uranium dan juga thorium. Cadangan mineral kita cukup sampai ratusan tahun ke depan,” imbuhnya.
Untuk itu, Mamit mengungkapkan, program hilirisasi mineral merupakan hal yang penting sehingga mineral yang dimiliki Indonesia memiliki nilai tambah yang berguna bagi peningkatkan perekonomian nasional.
“Untuk mengejar target net zero emission di 2060, nuklir saat ini merupakan pilihan yang harus di lakukan dimulai, jika tidak maka 2060 kita sulit untuk mencapai net zero emission jika hanya mengandalkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), PLTBayu (Pembangkit Listrik Tenaga Angin/Bayu) dan pembangkit lain karena banyak yang bersifat intermittent,” bebernya.
Tentunya, lanjut Mamit, hal ini membuat harus ada back up energi atau spinning reserve yang biasanya menggunakan energi fossil seperti saat ini dengan batubara.
Ia menjelaskan, berdasarkan study yang dilakukan oleh scientist Australia Grant Chalmers, menunjukan bahwa yang bisa menurunkan emisi carbon secara signifikan hanya ada dua yaitu nuklir dan hydro generation.
Untuk solar panel, tenaga angin cendrung flat karena harus ada back up energi. Sedangkan untuk gas mengalami kenaikan secara bertahap. Untuk batu bara jelas akan terus bertambah.
“Selain itu, jika www.electricitymap.org disitu jika kita bandingkan antara Jerman dengan Perancis, maka carbon intensity Jerman 4X lebih tinggi jika dibandingkan Perancis. Dimana listrik Perancis berada berkisar 50 gram CO2eq per kwh sementara Jerman 400 gram CO2eq per kwh. Hal ini terjadi karena Perancis saat ini 78% pembangkit mereka adalah nuklir sedangkan Jerman 40% adalah EBT seperti solar, angin dan juga batu bara yang mana merupakan back up energi primer EBT,” tutupnya.