Purnomo Yusgiantoro

Nuklir Pilihan Terakhir, Ini Kata Purnomo Yusgiantoro

Jakarta, Ruangenergi.comMantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2000-2009, Purnomo Yusgiantoro menyebut, sebenarnya sudah ada kebijakan yang mengatur Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) itu pilihan terakhir, yakni PP Nomor 79 Tahun 2014 nuklir sebagai pilihan terakhir.

“PP ini sangat unik, karena biasanya PP ini dibuat oleh pemerintah, Undang-Undang dibuat oleh Pemerintah dan DPR, tetapi PP (79/2014) ini dibuat oleh Pemerintah dan DPR karena begitu strategisnya, terutama masalah nuklir yang dikatakan sebagai pilihan terakhir,” kata Purnomo, dalam Launcing dan Pembahasan Bumu : PLTN Pilihan Terakhir, secara virtual, (17/03).

Purnomo yang juga mantan Menteri Pertahanan periode 2009 – 2014 menambahkan, Dewan Energi Nasional (DEN) bisa menjadi inisiator dalam pembahasan berbagai kebijakan terkait dengan PLTN di Indonesia.

“DEN dapat menjadi inisiator untuk pembahasan keputusan politik nasional kebijakan PLTN,” papar Purnomo.

Purnomo Yusgiantoro

Menurutnya, keputusan terkait dengan penggunaan nuklir juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam ketahanan energi Indonesia. Sejumlah prinsip yang penting tersebut terangkum dalam 4A yaitu availability (ketersediaan), acceptance (keberterimaan), accessability (keterjangkauan akses), dan affordability (keterjangkauan harga).

Ia mengatakan, apabila akan dilakukan pengambilan keputusan politik nasional terkait dengan pemanfaatan PLTN, maka selayaknya tidak hanya melibatkan pemerintah dan DPR tetapi juga harus melibatkan beragam unsur triple helix, yang mencakup pula akademisi dan industri.

Selain itu, kata Purnomo, sejumlah peluang dari pengembangan PLTN di Indonesia antara lain adalah tingkat keekonomian PLTN semakin kompetitif karena ada perkembangan teknologi terkini, menjamin keamanan pasokan energi dalam skala besar yang diperlukan untuk proses industrialisasi.

Menurutnya, peluang lainnya yakni upaya mendukung Indonesia mencapai NDC target 29% pengurangan karbon pada 2030. Ia menilai, PLTN generasi terbaru memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi, berdasarkan hasil penilaian International Atomic Energy Agency (IAEA) atau Badan Tenaga Atom Nasional tahun 2009, menyebutkan bahwa 16 dari 19 infrastruktur pembangunan PLTN di Indonesia sudah siap.

Akan tetapi, jelasnya, tantangan yang ada yakni dampak bahaya radiasi dan limbah nuklir terhadap lingkungan hidup, rentan mendapat penolakan dari masyarakat.

Berdasarkan pengalaman PLTN Semenanjung Muria, bahan baku dan teknologi PLTN masih harus tergantung negara lain, serta isu nuklir saat ini sangat sensitif.

“Saya ingin cerita, pada waktu itu saya menjadi saksi pada tahun 2000-an. Sejak akhir Orde Baru, sebenarnya kita sudah menyiapkan pembangunan Nuklir di Gunung Muria. Waktu itu kita bekerjasama dengan konsultan dari Jepang, akan dikembangkan terus sampai hampir 4.000 Megawatt,” paparnya.

Ia melanjutkan, di tahun 1997 saat itu situasi negara sedang krisis, kemudian 1998 zaman Orde Baru berganti menjadi Era Reformasi, dan diramalkan tahun 2000-an kebutuhan listrik akan meningkatkan. Atas hal itu gap-nya hanya bisa ditutup dengan pembangunan PLTN di Gunung Muria.

“Karena itu sudah keputusan politik nasional, tahun 2000-an beberapa pejabat kami datang ke Gunung Muria dan kembali ke Jakarta (Kantor ESDM), mereka marah-marah dengan saya. Saya heran juga mengapa mereka marah-marah. Mereka mengatakan, saya hampir saja mengalami masalah yaitu dikejar-kajar oleh masyarakat sekitar karena menolak pembangunan PLTN di Gunung Muria,” tutur Purnomo.

“Karena di tolak, lalu kita buat suatu pendalaman dan kita bawa ke sidang kabinet. Waktu itu sidang kabinet memutuskan untuk tidak dilanjutkan pembangunan PLTN, karena adanya penolakan dari masyarakat,” sambung Purnomo.

“Hingga akhirnya saya di Universitas Pertahanan membuat satu konsep Ketahanan Energi. Sebab biar bagaimanapun apapun yang kita ajukan itu harus diterima oleh publik,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *