Jakarta, RuangEnergi.Com– Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril kepada ruangenergi menuturkan, PLN akan melakukan akusisi pembangkit Chevron di Blok Rokan.
“Iya, PLN akan akuisisi pembangkitnya untuk dimanfaatkan selam 3 tahun (masa transisi) sebelum menyambung permanent ke Sistem Sumatera,”tutur Bob Saril melalui pesan singkatnya kepada ruangenergi(15/4/21).
PT PLN (Persero) butuh waktu kurang lebih tiga tahun untuk membangun transmisi dari sistem Sumatera untuk memenuhi kebutuhan listrik di Blok Rokan. Dalam kurun waktu tiga tahun hingga transmisi listrik terbangun, artinya mau tidak mau harus menggunakan pembangkit listrik yang telah ada saat ini.
MCTN pun melelang pembangkit listrik ini dengan nilai yang dianggap tidak wajar, yakni US$ 300 juta atau setara dengan Rp 4,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$). Padahal, menurut PLN, saat dibangun nilai proyek pembangkit listrik ini hanya US$ 190 juta atau setara Rp 2,66 triliun. Ditambah lagi, lanjutnya, pembangkit ini sudah beroperasi selama 20 tahun.
Saat ini, proses alih kelola Blok Rokan antara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan PT Pertamina (Persero) masih berlangsung. Persoalan pembangkit listrik masih mengganjal peralihan ini.
Chevron enggan memberikan pembangkit listrik berteknologi cogeneration (cogen) berkapasitas 300 megawatt itu secara cuma-cuma. Pembangkit milik PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) ini disebut tidak masuk dalam aset hulu minyak dan gas bumi (migas).
Pemilik pembangkitnya adalah Chevron Standard Ltd (CSL) dengan porsi saham mencapai 95%. Karena itu, perusahaan merasa berhak melelang pembangkit tersebut ke pihak lain yang berminat.
SKK Migas berpendapat berbeda. Satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu migas itu menginginkan pembangkit segera dihibahkan ke negara.
Selama beroperasi, pembangkit setrum Blok Rokan berada di atas tanah negara dan tidak pernah membayar biaya sewa sesuai perjanjian.
“Secara bisnis pembangkit tersebut diperkirakan sudah mendapatkan keuntungan jauh melebihi investasi awal,” kata Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih
Sementara itu, Pengamat Energi Febby Tumiwa menyatakan, berdasarkan informasi SKK Migas disebutkan bahwa setiap tahun kontrak listrik yang dibayarkan CPI ke MCTN sebesar US$ 80 juta dan ini sudah dibebakan ke cost recovery. Artinya, negara mengembalikan biaya tersebut kepada CPI.
Terkait nilai aset sekitar US$ 190 – 200 juta, dengan nilai tagihan listriknya US$ 80 juta, Fabby berpandangan ini perlu dilihat apakah ini wajar atau tidak.
“Sekarang ketika akan berakhir dan akan diambil alih pada 8 Agustus lelang senilai US$ 300 juta (sekitar Rp 4,2 triliun), ini kan tidak wajar,” ujarnya