Jakarta, Ruangenergi.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki cara untuk meningkatkan iklim investasi minyak dan gas di Tanah Air, salah satunya dengan memberikan dua opsi untuk investor yakni dengan skema kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) antara PSC bagi hasil kotor (Gross Split) atau PSC pengembalian biaya operasi (Cost Recovery).
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengatakan, pemerintah melakukan penyelarasan kebijakan agar iklim investasi migas tetap menarik bagi para investor.
Melihat kondisi perekonomian saat ini yang kian lesu ditengah terpaan badai Covid-19 dan kebutuhan energi untuk masyarakat berfluktuasi. Pemerintah memberikan kebebasan untuk memilih skema kontrak kerja sama, Gross Split atau Cost Recovery.
Pasalnya, keputusan tersebut diambil setelah menerima masukan secara langsung dari para kontraktor migas. Menteri ESDM menilai kedua skema kontrak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Menurut para kontraktor migas, gross split dinilai lebih tepat diperuntukkan bagi lapangan eksisting lantaran mempermudah taksiran biaya. Gross split juga mampu menyederhanakan proses bisnis dibandingkan cost recovery,” kata Arifin beberapa waktu lalu, (27/09).
Sementara untuk lapangan baru, lanjutnya, investor beralasan risiko yang harus ditanggung bila menggunakan skema kontrak cost recovery lebih kecil.
“Mereka merasa resiko yang dihadapi itu akan cukup besar, mencakup masalah finansial dan sebagainya. Dan ini mereka perlu adanya security juga. Kayak orang nebaklah. Kalau tebakannya salah, dia rugi. Tapi kalau betul, dia untung. Jadi dari pertimbangan-pertimbangan itu kita buka 2 opsi (cost recovery atau gross split),” papar Arifin.
Selain bentuk kontrak kerja sama, Arifin menjelaskan, Pemerintah juga menerima masukan terkait perpajakan dan akses data migas. Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian ESDM bersama instansi lainnya terus berupaya mengatasi permasalahan tersebut.
“Kita harapkan persyaratan-persyaratan untuk membuka iklim investasi di migas ini bisa kita perbaiki, kita sempurnakan supaya lebih menarik bagi mereka,” bebernya.
Ia mengungkapkan, Pemerintah sendiri telah menyempurnakan regulasi tersebut sebanyak tiga kali. Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split diubah pertama kali melalui Permen ESDM Nomor 52 Tahun 2017 di mana dilakukan perubahan terms kontrak bagi hasil gross split yaitu parameter dan koreksi split 10 komponen variabel dan 3 komponen progresif.
Selain itu, tambahan bagi hasil untuk komersialisasi lapangan tergantung keekonomian lapangan.
Perubahan kedua melalui Permen ESDM Nomor 20 Tahun 2019, kata Arifin, di mana dilakukan penyempurnaan komponen variabel TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dan penyempurnaan komponen progresif tentang produksi kumulatif.
Sedangkan pada perubahan ketiga melalui Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2020 adalah penegasan pemberlakuan bentuk kerja sama dan fleksibilitas bentuk kontrak bagi hasil gross split atau cost recovery.