Pemerintah Diminta Realistis Pengembangan Energi Hijau

Jakarta, Ruangenergi.comKomisi VII DPR RI meminta pemerintah realistis dalam pengembangan program energi hijau.

Menurut, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, proses alih teknologi energi fosil ke energi hijau membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk itu, dirinya mengatakan, jika pemerintah tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin dapat menimbulkan krisis energi seperti yang pernah dialami negara-negara maju beberapa waktu lalu.

“Karena faktanya kita butuh waktu dan butuh dana yang besar untuk melakukan transisi teknologi dari energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT),” terang Mulyanto dalam keterangan resminya, (25/11).

Tak hanya itu, politikus Fraksi PKS ini juga mendesak pemerintah agar hati-hati dalam implementasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang konon sangat green.

Ia mengingatkan, jangan sampai Indonesia termakan oleh optimisme overdosis atau sekedar tebar pesona terhadap transisi energi ini. Sebab yang akan menjadi korban adalah tarif listrik menonjak atau beban subsidi yang meroket.

“Pemerintah harus menyiapkan proses transisi energi itu secara bertahap dan prudent. Jangan terlalu ambisius tanpa dasar,” paparnya.

Anggota Komisi VII DPR RI

Lebih jauh, Mulyanto menegaskan, pemerintah memang harus meningkatkan bauran EBT, terlebih lagi isu energi hijau yang saat ini sudah menjadi agenda dunia. Namun demikian, katanya, pelaksanaannya harus cermat, agar biaya pokok pembangkitan (BPP) atau tarif listrik tidak ikut naik. Sebab, jika itu yang terjadi, akibatnya rakyat juga yang jadi korban.

Sesuai RUPTL 2021-2030, dimana porsi EBT akan mencapai 52%, maka BPP PLN akan naik dari Rp1.423 per kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689 per kWh pada tahun 2025. Beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi akan membengkak dua kali lipat lebih, dari Rp71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp182.3 triliun pada tahun 2025.

“Apakah pemerintah punya uang untuk menanggung beban ini? Jangan juga beban ini dialihkan ke rakyat, sehingga menghasilkan listrik yang mahal. Sekarang saja tarif listrik pelanggan rumah tangga di Indonesia hampir dua kali lipat dari tarif listrik di Malaysia. Karena bagi masyarakat yang dibutuhkan adalah tarif listrik yang terjangkau.  Bukan listrik bersih, tapi mahal,” tuturnya.

Maka dari itu, ia mendorong pemerintah untuk mengembangkan EBT di wilayah-wilayah defisit energi. Akan tetapi, jangan mengembangkan EBT ini di wilayah surplus energi, seperti Jawa dan Sumatera. Ini akan mubazir dan menyebabkan biaya yang harus ditanggung oleh PLN semakin membengkak.

Dirinya berharap Pemerintah jangan mau didikte oleh negara maju. Negara raksasa PLTU seperti China, India dan Amerika saja tidak berkomitmen untuk penghapusan PLTU ini.  Juga komitmen dana yang US$ 100 miliar dari negara maju untuk negara berkembang. Selain terlalu kecil, realisasinya juga belum jelas.

“Kita harus komit pada kepentingan bangsa terkait ketahanan energi nasional, menyediakan energi yang cukup, murah dan syukur-syukur bersih. Jangan membebani rakyat dengan tarif listrik yang mencekik,” tutupnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengungkapkan bahwa, transisi energi ini merupakan momentum yang sangat baik bagi pengembangan EBT di Indonesia, salah satunya yakni panas bumi (Geothermal).

“Saya kira ini juga menjadi kesempatan bagi perusahaan yang bergerak di pengembangan panas bumi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu dalam pidatonya, untuk masalah PPA tidak usah dijadikan permasalahan lagi, melainkan hal ini bisa di diskusikan dan harusnya ini bisa berjalan optimal. Ini menjadi sinyal bagi geothermal dan akan menjadi prioritas ke depan untuk mendukung pengembangan EBT kita,” imbuhnya.

Selain itu, kata Mamit, demand yang sulit ditengah kondisi listrik yang oversupply, tinggal bagaimana pemerintah bisa meng-create, sehingga serapan listrik bisa tercapai maksimal. Terlebih lagi ke depan era kendaraan listrik, ia berharap demand dapat terus meningkat.

“Transisi energi seperti yang disampaikan oleh bapak Presiden Jokowi Saya kira harus memperhatikan kondisi negara harga EBT yang masih cukup mahal. Perlu ada upaya upaya tersendiri agar transisi energi ini dapat berjalan maksimal. Dan saya kira Pak Jokowi sudah jelas menjelaskan di negara negara-negara maju Jangan hanya mau mendorong saja tapi juga harus menyiapkan sesuai dengan komitmen mereka. Berapa besar angka yang harus disiapkan agar transisi energi ini dapat berjalan. Tidak mungkin Indonesia bisa berjalan sendiri tanpa bantuan negara lain,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *