Pengamat Kebijakan Publik: Pemberlakuan Power Wheeling Akan Bebani APBN dan Konsumen

Jakarta, Ruangenergi.com – Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU-EBET) yang sedang difinalisasi oleh Panja RUU EBET Komisi VII DPR-RI, rencananya akan di Paripurnakan bulan September 2024 ini untuk mempercepat transisi energi dari fosil ke Energi Baru Energi Terbarukan (EBET).

Salah satu kebijakan yang menonjol dalam RUU ini adalah penerapan power wheeling, untuk memberi ruang lebih besar kepada Independent Power Producers (IPP) dalam penyediaan listrik EBT.

Namun Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagyo menilai, kebijakan ini mengandung risiko yang serius terhadap keamanan energi nasional dan APBN atau Konsumen. Untuk itu rencana pengesahan RUU EBET ini perlu ditinjau ulang dengan seksama sebelum diparipurnakan. Sebab berbagai risiko dan potensi kerugian mungkin timbul akibat kebijakan tersebut.

“RUU-EBET yang sedang difinalisasi oleh Panja RUU EBET Komisi VII DPR-RI, rencananya akan di Paripurnakan bulan September 2024 ini untuk mempercepat transisi energi dari fosil ke Energi Baru Energi Terbarukan (EBET),” kata Agus di Jakarta, Rabu (04/9).

Menurut Agus, salah satu kebijakan yang menonjol dalam RUU ini adalah penerapan power wheeling, untuk memberi ruang lebih besar kepada Independent Power Producers (IPP) dalam penyediaan listrik EBT.

“Namun, kebijakan ini mengandung risiko yang serius terhadap keamanan energi nasional dan APBN atau Konsumen. Untuk itu rencana pengesahan RUU EBET ini perlu ditinjau ulang dengan seksama sebelum diparipurnakan,” ujarnya.

Agus juga mengungkapkan, bahwa ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan terkait hal ini. Disebutkan bahwa power wheeling sebagai bentuk kebijakan unbundling ketenagalistrikan, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, kata dia. upaya untuk menghidupkannya kembali terlihat dilakukan melalui pengaturan dalam Peraturan Menteri dan Undang-Undang baru.

“Padahal urgensi menggantikan energi fosil dengan EBET belum mendesak, mengingat PLN sendiri saat ini sedang mengalami oversupply listrik di beberapa lokasi. Sehingga tambahan daya 1 GW akan menjadi beban tambahan bagi pihak PLN, yang diperkirakan menambah biaya sebesar Rp 3,44 triliun, sementara cadangan batu bara masih melimpah,” papar Agus.

Selain itu, lanjut dia, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sudah mencakup bauran energi EBET, dan PLN telah mampu memenuhi permintaan listrik “hijau” tanpa perlu melalui skema power wheeling.

“Listrik EBET dari IPP kemungkinan besar akan menjadi bagian dari permintaan organik PLN di wilayah kerja PLN, jadi bukan hanya untuk pelanggannya sendiri. Pendapatan Perseroan dari menyewakan jaringan kepada IPP juga jauh lebih kecil dibanding menjual listriknya sendiri, yang berpotensi merugikan keuangan PLN,” tukasnya.

Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa ada satu isu utama yang perlu mendapat perhatian serius yakni adanya ketidakselarasan data antara Kementerian ESDM dan PLN terkait ketersediaan listrik.

“Misalnya, Kementerian ESDM optimis tentang potensi ekspor listrik ke negara tetangga setelah pembangunan pembangkit listrik EBET, sementara kenyataannya Indonesia justru terus meningkatkan impor listrik dari Malaysia. Perbedaan data ini harus disinkronkan untuk menghindari kebijakan yang salah arah dan merugikan keamanan energi nasional,” jelasnya.

Opersupply Listrik
Masih menurut Agus, penerapan power wheeling juga dapat memperparah oversupply listrik di Indonesia, di mana sebagian besar listrik masih berasal dari energi fosil.

Saat ini, lanjut dia, PLN telah menanggung beban besar akibat take or pay dalam perjanjian jual beli listrik, yang mencapai sekitar Rp 180 triliun. Sehingga kebijakan power wheeling berpotensi menambah beban ini karena akan mengurangi permintaan listrik yang dikelola PLN, sekaligus memicu peningkatan kerugian finansial yang ditanggung negara dan/atau konsumen.

“Selain itu, EBET membutuhkan investasi dan biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan energi fosil,” ucapnya.

Agus menambahkan, bahwa memaksakan transisi yang terlalu cepat melalui power wheeling dapat mengorbankan keamanan energi dalam jangka panjang. Perlu diingat bahwa kelemahan EBET ada di keamanan energi (energy security) karena sangat bergantung pada kondisi cuaca dan harga.

“Selain itu, investasi yang dibutuhkan untuk infrastruktur EBET juga besar dan bisa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau ditanggung langsung oleh konsumen melalui kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) serta mengganggu stabilitas ekonomi,” tutup Agus.(SF)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *