Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mengungkapkan bahwa harga minyak dunia terus mengalami kenaikan yang signifikan dimana sempat menyentuh tertinggi untuk minyak berjangka jenis Brent di level US$ 77.16 per barel pada awal bulan 5 Juli 2021 yang merupakan tertinggi dalam 3 tahun terakhir.
Saat ini memang harga minyak dunia sudah sedikit mengalami penurunan di level US$73.59 per barel untuk pengiriman bulan September yang diperdagangkan pada hari Jum’at 16 Juli 2021.
“Penurunan harga minyak disebabkan mulai meningkatkan kasus covid19 varian delta yang di khawatirkan akan melemahkan permintaan minyak global karena kemungkinan terjadinya penguncian di beberapa negara,” ungkap Mamit, (18/07).
Ia menambahkan, belum tercapainya kesepakatan antara UEA dengan Arab Saudi terkait dengan rencana peningkatan produksi anggota OPEC+ menjadi pemicu melemahnya harga minyak dunia.
Menurutnya, kenaikan harga minyak dunia, diiringi dengan kenaikan harga Indonesian Crude Price (ICP) sepanjang 2021 ini. Kenaikan ICP ini sangat jauh jika dibandingkan dengan ICP sepanjang tahun 2020 yang lalu.
Selain ICP, kenaikan harga minyak juga terjadi pada harga MOPS ataupun Argus yang merupakan harga acuan dalam menentukan BBM yang beredar di tanah air sesuai dengan KepMen ESDM No 62 tahun 2020 Tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar Yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Dan/Atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
Dalam kurun waktu 3 bulan terakhir, dikarenakan naiknya harga minyak dunia serta kenaikan MOPS, SPBU swasta yang beroperasi di Indonesia sudah beberapa kali mengalami kenaikan yang cukup signifikan mengingat ruang mereka untuk itu di atur dalam KepMes ESDM no 62/2020 tersebut, dimana periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya, sampai dengan tanggal 24 satu bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan.
“Jika melihat rata-rata MOPS MOGAS 92 untuk 3 bulan terakhir dimana bulan April 2021 adalah US$ 71.7, Mei US$ 74.32 dan Juni 2021 adalah US$ 78.85, sehingga rata-rata 3 bulan terakhir adalah US$ 74.95 per barel. Belum lagi landed cost sebesar US$ 2 per barel maka harga landed Pertamax adalah US$ 76.95,” imbuhnya.
Dengan menggunakan kurs rata-rata 3 bulan terakhir adalah Rp 14.400 per dollar, maka harga perliter adalah sebesar Rp 6.969. Ditambah dengan konstanta sebesar Rp 1.800 dan margin 10% maka harga sebelum pajak adalah sebesar Rp 9.646/liter.
Jika ditambah dengan PPN dan PBBKB maka harga Pertamax adalah sebesar Rp 11.093 dibulatkan menjadi Rp 11.100. Jika mengacu kepada harga saat ini, maka Pertamina sudah mengalami kerugian sebesar Rp 2.100 per liternya, dihitung dengan formula yang ditetapkan dengan KepMen ESDM 62/2020 tersebut.
Begitu juga untuk jenis Pertalite, jika mengacu kepada harga MOPS MOGAS 92 bulan untuk 3 bulan terakhir, dengan formula sesuai KepMen 62/2021, dimana untuk RON 90 formulanya adalah 99.21% dari MOPS Mogas 92, maka seharusnya harga Pertalite adalah Rp 11.000 perliter, sedangkan saat ini Pertamina menjual dengan harga Rp 7.650 dimana ada selisih kekurangan sebesar Rp 3.350 per liternya.
Kondisi ini jelas memberatkan bagi Pertamina, ditengah pandemi covid19 yang masih belum selesai di Indonesia.
“Pembatasan mobilitas masyarakat berpengaruh terhadap penjualan BBM milik Pertamina jika pembatasan ini akan berlangsung cukup lama. Belum lagi, sebagai negara yang sudah menjadi net importir, maka Pertamina harus mengimpor minyak mentah maupun produks ditengah harga yang tinggi ini. Hal ini bisa dipastikan akan membahayakan keuangan Pertamina karena harga beli yang tinggi tetap harga jual tidak mengalami kenaikan,” paparnya.
Selain membebani Pertamina, terang Mamit, untuk produk BBM yang bukan subsidi maupun bukan penugasan maka selisih harga ini akan ditagih oleh Pertamina dalam bentuk dana kompensasi yang harus di bayarkan oleh Pemerintah. Yang jadi permasalahan, dana kompensasi tersebut tidak bisa langsung dibayarkan oleh Pemerintah tetapi menyesuaikan dengan kondisi keuangan negara sehingga arus keuangan Pertamina menjadi terganggu.
Oleh karena itu, perlu kiranya pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM untuk sedikit memberikan kelonggaran bagi Pertamina menyesuaikan harga BBM non subsidi mereka. Jika tidak, maka keuangan Pertamina bisa terganggu karena harus menanggung kerugian yang cukup besar dari selisih harga BBM yang mereka jual.
Selain itu, lanjutnya, Pertamina juga masih mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam program BBM Satu Harga untuk wilayah 3T serta harus mendistrubusikan barang subsidi lain seperti solar mapun LPG 3 kg ke seluruh wilayah di Indonesia dimana tantangan dari sektor transportasi menjadi utama.
Sebagai perbandingan, saat ini harga BBM milik SPBU Swasta yaitu Shell harga untuk jenis Super (Ron 92) Rp 10.580, V-Power (Ron 95) Rp 11.050, Reguler (Ron 90) Rp 10.520, dan Diesel Rp 10.380. Harga BBM Pertamina Pertalite (Ron 90) Rp 7.650, Pertamax (Ron 92) Rp 9.000, Pertamax Turbo (Ron 98) Rp 9.850 dan Pertamina Dex Rp 10.200.
“Meskipun dalam kondisi sulit, Pertamina tetap membantu pemerintah dalam menangani pandemic ini. Pertamina membantu dalam penyediaan oksigen, mulai dari iso tank hingga jalur transportasi untuk pengadaan oksigen. Selain itu, Pertamina juga membantu dalam penyediaan peralatan medis di RS Asrama Haji serta membangun rumah sakit modular di Tanjung Duren,” tandasnya.