Kemenko Marves

Penjualan Perdana Bunkering MFO Low Sulfur di Selat Sunda, Kemenko Marves : Tambah Devisa Negara Rp 200 T Pertahun

Twitter
LinkedIn
Facebook
WhatsApp

Jakarta, Ruangenergi.com – Setelah sebelumnya Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), mendorong adanya pelayanan jasa Bunkering Marine Fuel Oil Low Sulphur bagi kapal-kapal yang melintasi Selat Sunda.

Pemerintah mencermati besarnya peluang ekonomi yang dapat dioptimalkan, terutama yakni adanya ribuan kapal baik ukuran besar dan kargo internasional yang melintas di sepanjang Selat Sunda.

Kini, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Marves, Basilio Dias Araujo, menghadiri penjualan perdana Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) di Dermaga KIP Cilegon pada Hari Jumat (27-08-2021).

Ia mengatakan, kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani antara PT Krakatau Bandar Samudera (Krakatau International Port/KIP) dengan PT Patra Niaga Pertamina pada awal bulan Agustus 2021.

Pada kegiatan tersebut, KIP melakukan penjualan perdana LS MFO kepada kapal asing MV. Alona berbendera Siprus sejumlah 160 MT atau setara 175.000 liter LS MFO.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh M. Akbar Djohan – Direktur Utama PT Krakatau Bandar Samudera, dan Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT. Pertamina Patra Niaga yang diwakili oleh Waljianto – Executive General Manger Market Operation Regional III Pertamina Subholding Commercial & Trading PT Patra Niaga.

Kemenko Marves

Basilio menilai bahwa kegiatan tersebut memberikan sinyal positif atas inisiatif Indonesia untuk memberi layanan pengisian minyak LS MFO bagi kapal-kapal asing yang melintas di selat-selat strategis di Indonesia seperti Selat Malaka (120.000 kapal per tahun), Selat Sunda (53.000 Kapal per Tahun) dan Selat Lombok (36.000 Kapal per tahun).

“Jika satu kapal yang melintas di Sunda, Selat Malaka, atau Selat Lombok mengisi rata-rata 150 MT (Metrik Ton) dan dikalikan dengan jumlah 200.000 kapal yang melintas di Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok, maka Indonesia berpeluang menjual 30.000.000 MT BBM Rendah Sulfur untuk Kapal asing yang melewati ketiga selat tersebut di Indonesia itu. Kesempatan ini bisa mendatangkan devisa negara sekitar 200 triliun rupiah per tahun,” kata Basilio.

Sementara, Direktur Utama PT KBS, M. Akbar Djohan mengatakan, pengisian perdana BBM Kapal Sulfur kepada Kapal MV. merupakan proses kerja sama yang paling cepat antara PT KBS dan PT Pertamina Patra Niaga. Hanya dalam waktu 10 hari PT Pertamina Patra Niaga sudah dapat menyiapkan BBM Kapal Rendah Sulfur di dermaga Krakatau International Port dan pada hari ini sudah dapat melayani permintaan bunkering dari kapal asing MV. Alona berbendera Siprus sebanyak 160 MT atau setara 170.000 liter.

“Hal ini menunjukan tanda yang bagus untuk bisnis bunkering di Indonesia ke depan,” ujar Akbar.

Ia menjelaskan, Pertamina telah mempunyai kemampuan untuk memproduksi 380.000 Kl per tahun atau kurang lebih 200 ribu barel per bulan Bahan Bakar Kapal (Marine Fuel Oil) Sulfur Rendah 180 sSt (centistockes) di Kilang Plaju yang terletak di Sumatera Selatan.

Adapun MFO Sulfur Rendah dengan kandungan sulfur maksimal 0,5% mass by mass (m/m) ini merupakan salah satu upaya PT Pertamina menyediakan bahan bakar kapal yang sesuai dengan mandatori International Maritime Organization (IMO) mengenai bahan bakar kapal dengan kadar sulfur maksimal 0,5 5 wt yang berlaku mulai 1 Januari 2020. BBM Kapal Rendah Sulfur ini dapat dijual kepada kapal-kapal Indonesia dan kapal-kapal asing yang lewat di perairan Indonesia.

“Strategi ini tak hanya diproyeksikan untuk menambah profit dan devisa bagi negara, tapi ini akan memperkuat rantai pasok energi terutama migas di sepanjang Selat Sunda, di mana produk MFO dijadikan ‘engine’ baru dalam rantai pasok migas sehingga capai growth yang lebih baik lagi,” papar Basilio.

Melihat besarnya peluang ekonomi yang belum dioptimalkan dari adanya ribuan kapal baik ukuran besar dan kargo internasional yang melintas di sepanjang Selat Sunda, Basilio mengungkapkan bahwa “economic and opportunity loss” akibat belum adanya jasa bunkering bahan bakar minyak untuk kapal-kapal niaga di Selat Sunda berpotensi besar untuk diraih oleh Pertamina Group.

“First bunkering ini bukti bahwa pelabuhan-pelabuhan strategis di Indonesia harus terus berupaya kembangkan berbagai layanan untuk penuhi kebutuhan pelayaran dan bisnis maritim di Indonesia, terutama di Selat Sunda dan Selat Malaka, sehingga kapal yang lewat dan singgah di Selat Sunda, Selat Malaka dan Selat Lombok dengan mudah dapat memenuhi BBM kapalnya sekaligus logistic services lainnya,” kata Basilio.

Selain Bunkering LS Marine Fuel Oil (MFO), lanjutnya, Kemenko Marves menekankan pentingnya pelabuhan strategis mewujudkan integrated port services dengan melengkapi fasilitas pelabuhannya seperti Port Reception Facility, ship chandler, first emergency call untuk kapal dan ABK terutama di masa pandemi, dan layanan crew change bagi ABK terpapar COVID-19.

Menuju Green Port, Gunakan EBT

Selain itu, Deputi Basilio kembali mengingatkan bahwa Green Port dan pemanfaatan energi bersih dengan memaksimalkan pemakaian Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam operasional pelabuhan di Indonesia merupakan suatu keharusan ke depannya.

“Kita perlu siapkan diri bahwa demand markets internasional mensyaratkan pelabuhan menerapkan green port dan clean energy yang ramah lingkungan, jadi harus dibangun (infrastruktur) itu dari sekarang,” beber Basilio.

Ia menjelaskan bahwa kerja sama saling menguntungkan ini dapat meningkatkan penerimaan negara dan keuntungan luar biasa terutama untuk pendapatan negara, kesejahteraan masyarakat, dan yang terpenting Indonesia siap dan mampu untuk memberikan layanan jasa MFO di wilayah perairan strategis kita.

Sebagai informasi, Deputi Basilio juga menyampaikan bahwa Selat Sunda dilewati oleh sekitar 53.000 kapal per tahun, yang menandakan besarnya potensi yang dapat dikembangkan.

“Selain BBM Rendah Sulfur, masih ada banyak potensi lain yang bisa dikembangkan, khususnya bila kita bisa menyiapkan tidak hanya di Selat Sunda, tetapi juga di Pulau Nipah serta Selat Malaka dan Selat Lombok,” tutupnya.