Jakarta, ruangenergi.com – PT Pertamina (Persero), sebagai perusahaan energi terbesar di Indonesia, serius menyiapkan perjalanan panjang dalam program transisi energi guna mendukung komitmen global terhadap pengurangan emisi karbon dan pencapaian net zero emission pada 2060.
Perjalanan ini bukan tanpa tantangan, mengingat peran vital Pertamina dalam penyediaan energi berbasis fosil yang masih dominan di Indonesia.
Beberapa aspek penting dari transisi energi yang dijalani Pertamina antara lain diversifikasi portofolio energi.
Pertamina berfokus pada diversifikasi sumber energi, terutama energi terbarukan. Salah satu bentuk diversifikasi tersebut adalah pengembangan biofuel.
Bagi Pertamina, pengembangan biofuel, seperti biodiesel dan bioetanol, bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Pertamina juga berupaya menjalin berbagai kerja sama internasional untuk mempercepat adopsi teknologi bersih dan energi terbarukan. Salah satu contoh adalah kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan Brasil dalam pengembangan bioetanol, serta kemitraan dengan berbagai institusi global untuk pengembangan teknologi hijau.
“Ada peluang bisnis baru yang bermunculan. Pertama, bisnis biofuel yang peranannya akan sangat besar, terutama yang berbasis bio. Kedua, renewable power, kita memiliki sumber panas bumi terbesar di dunia. Selain itu, banyak potensi lain yang bisa dikembangkan,” kata Vice President Business Development PT Pertamina, Wisnu Medan Santoso, dalam diskusi “Energizing Tomorrow: Menjawab Tantangan Transformasi Energi Menuju Net Zero Emission”, Selasa lalu (10/09/2024) di Jakarta.
Transisi dari BBM ke Gas Alam
Transisi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas alam sebagai sumber energi yang lebih bersih merupakan salah satu strategi utama Pertamina. Gas alam dipandang sebagai “jembatan” dalam transisi menuju energi terbarukan karena emisi karbonnya lebih rendah dibandingkan dengan batu bara dan minyak bumi.
Di hadapan peserta Indonesia International Sustainability Forum 2024 (IISF) pada Kamis, 5 September 2024 di JCC Senayan, Jakarta, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menyebutkan bahwa Pertamina terus mengembangkan infrastruktur gas sebagai sumber energi andalan dalam mendukung transisi energi.
“Pertamina telah mengembangkan biofuel, penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS), hingga solusi berbasis NBS (Nature-Based Solutions) yang terbukti dapat menurunkan emisi,” ujar Nicke dengan semangat.
Tidak mau ketinggalan dalam inovasi energi, Pertamina juga tengah mengkaji penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar masa depan.
Buktinya, PT Pertamina Geothermal Energi Tbk (PGEO) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Pertamina Power Indonesia (Pertamina NRE) dan Genevia, perusahaan asal Prancis yang berfokus pada teknologi hidrogen bersih.
Kesepakatan ini mengatur kerja sama ketiganya untuk melakukan studi bersama terkait pengembangan hidrogen hijau atau rendah karbon. Teknologi Solid Oxide Electrolyzer (SOEL) milik Genvia akan dipadukan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Combined Heat and Power (CHP) milik PGEO untuk mewujudkan inovasi energi bersih.
“Skema teknologi ini diharapkan menjadi model keekonomian bisnis hidrogen hijau berbasis listrik panas bumi yang kompetitif di pasar,” jelas Kitty Andhora, Corporate Secretary PGEO, Rabu (2/10/2024) di Jakarta.
Inovasi Teknologi dan Digitalisasi
Tidak ingin dicap ketinggalan zaman, Pertamina serius mengembangkan digitalisasi dan inovasi teknologi dalam kegiatan operasional, mulai dari upstream, midstream, hingga downstream, termasuk energi terbarukan.
Digitalisasi dan inovasi teknologi menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi operasional serta adopsi teknologi energi bersih. Pertamina melakukan investasi besar dalam pengembangan solusi digital untuk meningkatkan pengelolaan energi dan meminimalkan dampak lingkungan dari operasinya.
Dalam catatan ruangenergi.com, di hadapan Pemimpin Redaksi Media Massa dalam acara Pemred Gathering Pertamina 2024, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, mengungkapkan bahwa digitalisasi dan riset teknologi menjadi kunci utama meningkatnya kinerja Pertamina.
“Kita sudah mulai menggunakan AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan) untuk mengolah dan menganalisis data secara lebih cepat, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih akurat,” cetus Nicke waktu itu.
Pertamina juga terus mengembangkan riset dan teknologi untuk meningkatkan produk bernilai tinggi. Pertamina menguasai 24% sektor hulu dengan kontribusi terhadap produksi minyak sebesar 69% dan gas sebesar 34%. Pengelolaan ribuan sumur dilakukan dengan digitalisasi dan sudah terkoneksi hingga ke hilir.
Selain aspek teknis, Pertamina juga menekankan pada Environmental, Social, and Governance (ESG). Komitmen perusahaan yang dipimpin oleh Nicke Widyawati untuk mengurangi jejak karbon dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program tanggung jawab sosial korporat (CSR) menunjukkan langkah serius menuju keberlanjutan.
Pertamina masih berada dalam tahap awal transisi energi, namun dengan langkah-langkah proaktif dan inovatif, perusahaan tampaknya berkomitmen penuh untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang dan mendukung Indonesia dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon.