Jakarta, Ruangenergi.com – Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan perlu adanya regulasi-regulasi yang secara ketat dalam meningkatkan penggunaan produk dalam negeri (Tingkat Komponen Dalam Negeri/TKDN).
“Masalah TKDN memang kompleks melibatkan multi sektor,” Jelas Komaidi dalam sebuah webinar bertajuk (Peran dan Dukungan BUMN Dalam Pengembangan TKDN), yang diselenggarakan oleh Ruangenergi.com bersama Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) dan Energy Watch, (25/03).
Padahal, kata Komaidi, regulasi yang mengatur tentang TKDN di sektor migas sudah banyak, salah satunya yakni, Undang-UndangNomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian (Mengatur tentang kewajiban penggunaan komponen dalam negeri). Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri.
“Peraturan Presiden (Perpres) No 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 tahun 2011 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri,” tuturnya.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2013 tentang Penggunaan Produk Dslam Negeri Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Peraturan Menteri ESDM No 08 tahun 2027 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Surat Keputusan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) No KEP -0041/SKKMA0000/2017/SO tentang Pedoman Tata Kerja Pengelolaan Rantau Suplai Buku Kedua Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Revisi 04.
“Target TKDN hulu migas secara umum, Pemerintah melalui Perpres No 18/2020 tentang RPJMN tahun 2020-2024 menargetkan TKDN sebesar 50% di tahun 2024. Sementara, target TKDN dalam Peraturan Menteri ESDM No 15/2013 yang berada di kisaran 55%,” imbuhnya.
Menurutnya sektor migas sudah lebih besar dibanding sektor lain secara keseluruhan. Target penggunaan TKDN di sektor migas di tahun 2021-2025 diharapkan terus meningkat.
Komaidi menyebut, realisasi TKDN hulu migas berdasarkan periode 2011-2019 di di sektor gabungan hulu migas relatif stagnan dan selalu memenuhi target.
“Di 2011 sebesar 61% TKDN-nya, 2012 turun menjadi 60%, lalu di 2013 turun menjadi 57%, 2014 turun menjadi 54%, dan kemudian ada peningkatan kembali. Kalau kita cermati penurunan rata-rata disebabkan shock TKDN barang,” paparnya.
Ia menambahkan, terkait komponen barang itu sejalan dengan kesiapan industri domestik. Betapa besarnya multiplier effect yang ditimbulkan dari kalau kita menggerakkan industri dalam negeri, karena keterkaitan industri pengguna dan industri-industri lainnya sangat besar sehingga menciptakan nilai tambah ekonomi yang sangat besar.
“Waktu itu di 2010 kami merekomendasikan kepada SKK Migas kalau memang dapat menggunakan bahan baku domestik kenapa tidak dioptimalkan, akan tetapi hal tersebut tidak mudah karena butuh kesiapan industri di dalam negeri,” paparnya.
Pencapaian TKDN salah satunya dipengaruhi oleh nilai pengadaan di tahun berjalan. Peningkatan nilai pengadaan gabungan relatif mempengaruhi turunnya persentase TKDN gabungan sektor hulu migas.
“Dari sekitar 185 sektor ekonomi di Indonesia yang dicatat Pemerintah berdasarkan metode survei Penggunaan TKDN-nya kecil, atau tergantung pada komponen impor, bahan baku masih banyak impor. Bicara industri apapun apalagi di sektor manufaktur, sektor pertanian itu impornya lumayan banyak. Jadi kita agak geleng-geleng kalau kedelai kita 70% impor dari Amerika,” ungkapnya.
Menurut, hal-hal semacam ini yang tidak terekspos dengan baik kepada publik bahwa mengapa domestik lebih mahal ketimbang impor, itu sangat jelas karena bahan baku dan komponen impornya besar.
“Terlebih lagi kalau kita terkena shock dari nilai tukar rupiah, karena ada nilai tambah (value added) yang sudah dinikmati negara lain di dalam menciptakan bahan baku, kemudian kita impor, rantai pasoknya panjang. Secara sederhana rantai pasok ini menyebabkan banyak nilai tambah yang dinikmati oleh rantai masing-masing rantai, sehingga sampai di end user (pelanggan) otomatis menjadi lebih tinggi. Ini yang menyebabkan komponen impor begitu sensitif terhadap harga barang di dalam negeri,” paparnya.
Dirinya menyoroti khusus untuk BUMN. Jika dilihat dari sisi luar, BUMN ini dalam posisi yang sangat sulit.
“Apabila TKDN-nya kurang, dikritik suka impor, ketika pakai komponen dalam negeri kemahalan dikritik korupsi (mark up). Saya kira kalau memang Pemerintah komit, kita semua komit, saya kira ini bukan hanya tugas pemerintah tapi tugas kita bersama komit untuk meningkatkan industri dalam negeri. Ekosistem harus kita bangun bersama dan harus sama-sama kita sadari bahwa segala sesuatunya mahal ini konsekuensi karena ekosistemnya belum mapan,” tandasnya.