Jakarta, Ruangenergi.com – PT PGN (Persero) Tbk memprediksi permintaan gas turun sebesar 31,59 Billion British Thermal Unit per Day (BBTUD) pada tahun ini akibat penyebaran virus corona (covid-19).
Menurut Direktur Utama PGN Gigih Prakoso, pandemi membuat konsumsi gas sebagian besar industri turun. Perkiraan, permintaan gas sektor industri berkurang 15 persen di kuartal II dibandingkan kuartal I 2020. “Proyeksi awal total akan terjadi penurunan 31,59 BBTUD sepanjang 2020,” ujarnya dalam rapat virtual dengan Komisi VI DPR, Kamis (16/4).
Ia merincikan permintaan gas industri ritel diprediksi turun 18,66 BBTUD, lalu pelanggan korporasi turun 10 BBTUD, dan calon pelanggan turun 3 BBTUD. Sementara itu, puncak penurunan permintaan gas diperkirakan terjadi pada periode Mei-Juli. Selama tiga bulan itu, konsumsi gas ritel diramal turun 40 BBTUD dan pelanggan korporasi turun 60 BBTUD.
“Penurunan disebabkan industri mengalami kendala seperti bahan baku impor, permintaan produk ekspor domestik, dan eksposur dolar AS terhadap rupiah yang meningkat,” jelasnya.
Dalam hal ini, ia menyatakan perseroan akan melakukan berbagai upaya mitigasi. Pertama, PGN akan memberikan relaksasi kepada pelanggan dalam bentuk amandemen perjanjian untuk pelanggan terdampak Covid-19. Kedua, PGN akan melakukan kajian ulang rencana investasi dengan instansi lain.
“Kami juga meningkatkan digitalisasi dengan e-commerce, sehingga pelanggan bisa membayar tagihan gas dari rumah dan memberi bonus cashback untuk pembayaran online,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, PT Pertamina (Persero) juga memperkirakan pendapatan yang diraupnya akan menyusut 38 persen sampai 45 persen dari target yang tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020 sebesar US$58,3 miliar.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, estimasi ini berasal dari asumsi skenario terburuk pada harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oils Price/ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Saat ini, dinamika perekonomian global dan nasional menekan kedua indikator tersebut.
“Dari simulasi ini, bisa dilihat untuk yang terberat penurunan pendapatan perusahaan dibandingkan RKAP mencapai 38 persen dan untuk yang sangat berat 45 persen dari RKAP,” ungkap Nicke.
Untuk skenario berat, Pertamina mengasumsikan ICP berada di kisaran US$38 per barel. Sementara, nilai tukar rupiah menyentuh angka Rp17.500 per dolar AS.
Apabila skenario ini terjadi, kemungkinan pendapatan Pertamina akan hilang sekitar US$22,15 miliar atau 38 persen dari target RKAP. Dengan begitu, pendapatan BUMN migas tersebut kemungkinan hanya tersisa US$36,14 miliar pada tahun ini.
Sedangkan untuk skenario sangat berat, ICP diasumsikan menyentuh angka US$31 per barel dan kurs rupiah menembus Rp20 ribu per dolar AS. Bila skenario ini terjadi, maka kemungkinan pendapatan hilang US$26,23 miliar, sehingga tersisa US$32,06 miliar.
Untuk memitigasi skenario terburuk ini, Nicke menerangkan perusahaan telah mengantongi beberapa strategi, mulai dari menunda eksplorasi sumur baru dan menurunkan batas operasional ke level rendah.”Dengan menurunkan investasi, tapi produksi sesuai target. Karena secara teknis, itu kurang baik jadi kami lakukan bertahap, diturunkan sesuai demand,” jelasnya.
Tak ketinggalan, perusahaan juga akan melakukan efisiensi dan menekan perencanaan pengolahan minyak mentah karena harga tengah meningkat di domestik. Di sisi lain, mungkin pula dengan meningkatkan impor minyak. “Impor sedang murah, saat tepat untuk meningkatkan stok yang dilakukan untuk menurunkan HPP BBM dan LPG kami selama covid-19,” pungkasnya.(Red)
