Jakarta, Ruangenergi.com – Serikat Pekerja PLN menolak usulan rencana holdingnisasi company antara PT PLN (Persero), PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), dan PT Geo Dipa Energi (Geo Dipa).
Sekertaris Jenderal Pegawai PT Indonesia Power (PPIP), Andy Wijaya mengatakan PLN diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Hal tersebut, berdasarkan Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam Pasal 77 salah satu poinnya menyatakan bahwa Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan umum tidak dapat dilakukan privatisasi. Selain itu, dalam poin lainnya juga Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan, juga demikian tidak dapat dilakukan privatisasi.
“Jika melihat UU 19/2003, maka dalam hal ini PLN artinya tidak dapat dilakukan privatisasi, karena usahanya masuk kedalam salah satu poin dalma pasal 77 UU BUMN,” jelas Andy, (27/07).
Ia mengaitkan jika rencana holdingnisasi tersebut dilakukan, lantas bagaimana nasib PLN ke depan?. Sebagaimana diketahui, saat ini PLN menanggung hutang lebih dari Rp 600 Triliun, di aman Rp 500 Triliun merupakan hutang jangka panjang dan sekitar Rp 150 Triliun merupakan hutang jangka pendek.
“Bagaimana bila, usaha-usaha PLN itu dipreteli dan diberikan kepada badan usaha lainnya?. Lalu, bagaimana nasib dari hutang PLN?. Ini juga menjadi pertimbangan kita bersama, karena PLN adalah kepunyaan negara dan apabila negara tidak bisa menjamin maka kesalahan itu akan dibebankan kepada tarif listrik terhadap masyarakat,” imbuhnya.
Sebagai informasi, ia mengungkapkan, kasus-kasus privatisasi atau masuknya private ke dalam usaha ketenagalistrikan. Hal itu serta merta menimbulkan kenaikan tarif listrik.
“Ini berdasarkan studi yang kami (SP PLN) lakukan di Philipina, Kamerun, Nigeria, ketika sudah di privatisasi maka kenaikan tarif listrik adalah keniscayaan. Maka itu, dari awal kami mencoba mengingatkan adanya pelanggaran konstitusi, kami bertanggung jawab untuk mengingatkan ke pemerintah. Jangan sampai rencana yang niatnya baik tetapi setelah diimplementasikan melanggar konstitusi,” paparnya.
Selain itu, ia juga mengatakan pidato Presiden Joko Widodo di tahun 2017.
“Ketika dihadapan para CEO, Pak Jokowi mewanti-wanti bahwa jangan sampai program Holdingnisasi bertentangan dengan Peraturan Perundangan-Undangan yang berlaku. Kami mengamini hal itu, bahwa jangan sampai holdingnisasi ini yang dilanjutkan dengan IPO ujung-ujungnya melanggar konstitusi,” imbuhnya.
Ia menambahkan, ada empat poin yang dilakukan SP PLN group dalam rencana pembentukan holdingnisasi ini.
Pertama, menolak program holdingnisasi PLTP maupun holdingnisasi PLTU bila PLN tidak menjadi holding company-nya, karena bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, menolak keras rencana Kementerian BUMN yang berniat untuk melakukan privatisasi kepada usaha-usaha Ketenagalistrikan saat ini masih dimiliki oleh PLN dan anak usahanya karena bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3) serta Putusan MK perkara nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Permohonan Judicial Review UU nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan Perkara nomor 111/PUU-XIII/2015, Permohonan Judicial Review UU nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Ketiga, yakni menolak keras rencana Kementerian BUMN yang berniat u tuk melakukan penjualan Asset PLN melalui IPO.
Keempat, mendukung Program Transformasi Organisasi Kementerian BUMN khususnya untuk mempercepat terbentuknya Holding Ketenagalistrikan dengan menggabungkan seluruh aset-aset ketenagalistrikan yang ada di BUMN-BUMN lain menjadi Holding Company di bawah PT PLN.
Kelima, mendukung agar PLN menajei leader di sektor Ketenagalistrikan Energi Baru Terbarukan di Indonesia sesuai fungsi dibentuknya PLN dengan memberdayakan Putra dan Putri Bangsa Indonesia.
Kembali Kepada Tupoksinya
Sementara, Ketua Umum DPP SP PLN, Abrar Ali, menambahkan, di tengah kondisi Pandemi Covid-19 sebaiknya pemerintah untuk fokus menangani hal ini.
“Biarlah BUMN kembali kepada tupoksinya masing-masing. Jangan menambahkan masalah baru, apa urgensinya pembentukan holdingnisasi Ketenagalistrikan (PLTP, PLTU dan seterusnya),” katanya.
Sementara, lanjutnya, disisi lain, pemerintah berkewajiban untuk menjalankan Paris Agreement, untuk mereduksi email Gas Rumah Kaca (GRK). Maka itu, pemerintah menugaskan kepada PLN untuk mengembangkan pembangkit-pembangkit EBT.
Sementara, katanya, PLTP-PLTP yang ada merupakan modal dasar PLN untuk mengembangkan kembali EBT yang lainnya.
“Kalau ini diserahkan kepada BUMN yang lain pengelolaan akan tumpang tindih. Kami berharap kembali ke Tupoksi masing-masing BUMN dalam rangka melaksanakan tugas-tugas pemerintahan,” imbuhnya.
Selanjutnya, ia mengatakan PLN saat ini memiliki aset sebanyak Rp 1.600 Triliun, bisa dikatakan ini merupakan BUMN paling besar yang memiliki aset sebanyak ini. Tentunya hal ini merupakan modal besar pemerintah untuk melaksanakan fungsi ketenagalistrikan kepada PLN.