Revisi Permen PLTS Atap memberikan Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih besar bagi masyarakat dan negara

Jakarta, ruangenergi.com– Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mendukung Kementerian ESDM untuk segera melegislasi revisi Peraturan Menteri ESDM No. 49/2018 tentang Penggunaan PLTS Atap oleh Pelanggan PT PLN.

Perubahan ini diharapkan meningkatkan minat masyarakat memasang PLTS Atap yang dapat berdampak pada upaya pencapaian target bauaran energi terbarukan, peningkatan investasi energi terbarukan, dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) serta komitmen Indonesia untuk mencapai karbon netral sebelum 2060. Proses legislasi ini masih terkendala proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

“Pemasangan PLTS Atap pada skala besar merupakan cara yang tercepat dan termurah bagi pemerintah untuk mencapai target RUEN. Dengan potensi teknis pada segmen residensial yang mencapai 655 GWp dan potensi pasar mencapai 9-11% dari keseluruhan rumah tangga di Indonesia, ditambah dengan potensi PLTS Atap pada bangunan Commercial & Industry (C&I), maka akselerasi PLTS Atap sangat tepat sebagai strategi pemerintah meningkatkan bauran energi terbarukan dan menurunkan emisi GRK dalam jangka pendek. Untuk itu revisi Permen ESDM No. 49/2018 ini sangat tepat,” kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa kepada ruangenergi.com, Senin(16/8/21)

Menurut AESI, revisi Permen yang memperluas cakupan kepada seluruh pelanggan di wilayah usaha seluruh pemegang Ijin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL), yaitu PLN dan non-PLN, akan memperluas potensi pasar PLTS Atap, khususnya untuk segmen konsumen C&I.

Perubahan nilai ekspor listrik dari 65% menjadi 100% dengan skema net-metering dapat memperpendek masa pengembalian investasi dari yang saat ini di atas 10 tahun, bisa dipercepat di bawah 8 tahun, dengan tarif listrik saat ini. Perubahan persetujuan permohonan yang awalnya 15 hari kerja menjadi 5 hari kerja, serta kewajiban bagi IUPTL untuk membuat meter exim selalu tersedia dapat meningkatkan appetite konsumen PLTS Atap. PLN pun tidak membayar kepada pelanggan dan surplus transfer listrik akan menjadi milik PLN setelah 6 bulan.

Kenaikan minat konsumen PLTS Atap ini seharusnya dilihat sebagai bentuk partisipasi atau gotong royong warga negara Indonesia terhadap upaya pemerintah meningkatkan energi terbarukan dan penurunan emisi CO2 dengan biaya sendiri dan tidak membebani keuangan negara dan BUMN.

AESI menilai pandangan beberapa pihak yang menyatakan PLTS Atap akan membawa kerugian bagi PLN tidak tepat dan menyesatkan. Berdasarkan kajian USAID & NREL (2020)1 jika kapasitas PLTS Atap mencapai 3 GW, dengan tingkat tarid saat ini maka penurunan pendapatan PT PLN sangat kecil, hanya 0,2%. Sebagai catatan sampai dengan Januari 2021, jumlah kapasitas PLTS Atap di pelanggan PLN baru sebesar 22,63 MW.

“Jelas sekali ada ketakutan berlebihan dan upaya sistematis untuk membesar-besarkan hal yang sebetulnya bukan isu penting dari revisi Permen ini,” kata Fabby.

Bahkan pada sejumlah sistem, misalnya di Jawa-Bali, meningkatnya populasi PLTS Atap yang menghasilkan listrik di siang hari dapat membantu memangkas biaya produksi listrik dari PLTG/PLTGU yang beroperasi di beban menengah (load follower).

Dengan demikian peningkatan kapasitas PLTS Atap di Sistem Jawa-Bali justru bisa berdampak pada penurunan BPP PLN. Hal yang sama bisa terjadi di daerah-daerah luar Jawa yang didominasi oleh PLTD, dengan rata-rata biaya pembangkitan berkisar pada 1300 – 1900/kWh, PLTS Atap akan menurunkan biaya produksi.

Demikian juga dengan klaim bahwa nilai transfer 1:1 merugikan PLN karena ada losses di jaringan, sebaiknya dikaji secara serius karena adanya PLTS Atap justru bisa saja memberbaiki kualitas tegangan dan menurunkan losses distribusi.

Penggunaan PLTS Atap di segemen C&I punya dampak menurunkan biaya BPP PLN dan subsidi. Dengan penggunaan listrik captive dari PLTS Atap oleh C&I, PLN didorong untuk mengoptimalkan operasi pembangkitnya dan mengefisienkan Specific Fuel Consumption (SFC) pembangkit-pembangkitnya sehingga berdampak pada penurunan BPP.

Penggunaan PLTS Atap juga membawa manfaat ekonomi yang besar dan dapat menjadi mesin pemulihan ekonomi pasca COVID-19. Kajian USAID-NREL (2020) menemukan bahwa PLTS Atap residensial sebanyak 2000 unit dengan kapasitas total 9 MW dapat menyerap 710 tenaga kerja tahunan (job-years), dengan GDP sebesar $4,9 juta. Kajian IESR (2020) memperkirakan setiap 1 GWp akan menciptakan 22 – 30 ribu tenaga kerja. Pertumbuhan PLTS Atap dapat membuka lapangan kerja tambahan dari hadirnya industri PLTS dan tumbuhnya rantai pasok PLTS.

Kapasitas PLTS Atap sebesar 1 GW dapat memangkas 1,05 juta ton CO2 per tahun. Ini tentunya dapat berkontribusi terhadap target memangkas emisi GRK 29% pada 2030 dan dekarbonisasi sebelum 2060.

Manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari revisi Permen PLTS Atap jauh lebih besar dibandingkan dampak minimal yang terjadi dari penurunan pendapatan pada PLN. PLTS Atap yang tumbuh hanya akan membawa manfaat yang besar bagi masyarakat. PLN dan perusahaan pemegang IUPTL harus berbenah diri, melakukan transformasi bisnis jika tidak ingin tergilas dengan disrupsi teknologi yang saat ini terjadi, dan mengubah perencanaan dan pola operasi sistem kelistrikan.

“Untuk mendukung transisi energi, Kementerian BUMN sebagai pemegang saham perlu memperbaiki KPI PLN dengan memasukan target pencapaian energi terbarukan. Inisesuatu yang logis, mengingat kebijakan dan target pemerintah untuk mencapai bauran energi sebesar 23% pada 2025 dalam RUEN merupakan acuan bagi RUPTL PT PLN,” pungkas Fabby.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *