Jakarta, Ruangenergi.com – Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero) Abrar Ali, memberikan respon menohok atas pernyataan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, yang menyatakan bahwa skema sewa jaringan listrik dengan nama lain pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bukan merupakan bentuk dari pasar bebas (liberalisasi) industri listrik nasional.
Menurut dia, pernyataan Dirjen EBTKE itu keluar karena ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis. Pasalnya, pernyataan tersebut sangat memprihatinkan dan mencederai iklim demokrasi.
“Ini akibat ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis. Harusnya beliau (Eniya Listiani Dewi) memahami dulu dengan baik dan benar apa yang disebut dengan liberalisasi, baik secara hukum, konstitusi maupun bisnis, baru selanjutnya mengeluarkan pernyataannya. Bukan hanya berdasar pada kepentingan semata. Kita tetap menolak skema tersebut karena cacat secara hukum, konstitusi dan tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan,” kata Abrar di Kantor PLN Pusat, Jakarta, Kamis.
Pasalnya, kata Abrar, skema PBJT itu sangat bertentangan dengan konstitusi, di mana Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara yang dalam hal ini diwakili BUMN sebagai pengelola.
“Jika skema tersebut diterapkan, otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta. Kedua, Putusan MK No. 36/2012 yang menyebut pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta,” ujarnya.
Kemudian, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
“Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema tersebut juga inkonstusional, dan harus ditolak. Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945,” ujarnya.
Dijelaskan, bahwa listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan. Hal yang sama juga bila ditinjau dari sisi aspek ekonomi dan sosial politik, skema tersebut sangat merugikan masyarakat.
“Pada Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi. Jelas skema tersebut sangat tidak pancasilais,” paparnya.
“Kalaupun ada pernyataan tambahan dari beliau (Eniya Listiani Dewi) menyebut PLN masih melakukan penguasaan lewat persetujuan harga sewa jaringan, dan bukan pasar bebas, menurut hemat kami, itu akal-akalan pemerintah saja, yang kita sebut sebagai liberalisasi terselubung ala pemerintah,” sambung Abrar.
Ia mengungkapkan, penerapan skema tersebut (pemanfaatan bersama jaringan transmisi/PBJT) jangan terlalu dipaksakan, karena akan sangat merugikan negara dan masyarakat.
“Kajian-kajian akan besarnya kerugian bagi pemerintah dan masyarakat atas dampak PBJT tersebut sudah banyak dilakukan. Namun pemerintah tidak pernah menggubrisnya,” ujarnya.
Masih menurut Abrar, dalam membuat sebuah undang-undang, ada sejumlah aspek yang harus dilalui, yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Proses pembentukan UU EBET juga harus mengikuti tahapan ini dengan memuat azas-azas keterbukaan, demokrasi, akuntabilitas dan partisipasi publik, agar sesuai aturan hukum dan konstitusi. Seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2). Dan yang terpenting, Pasal 96 UU No.12/2011 (berubah jadi UU 15/2019) ayat (1): Masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan UU. Ayat (2): Untuk memudahkan memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
“Karena itu, baiknya soal pengesahan RUU EBET tersebut ditunda dulu sampai benar-benar meyakinkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Jangan karena kepentingan sesaat atau suatu kelompok segala cara dihalalkan,” tutup Abrar.(SF)
Jaringan Listrik, RUU EBET, Liberalisasi Terselubung, PBJT