Jakarta, Ruangenergi.com – Dalam membangun sebuah kilang minyak atau pengolahan minyak tentunya harus melihat strategi yang harus diperhatikan agar dapat menguntungkan.
Eks Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, mengatakan ada beberapa strategi yang bisa dilakukan agar kilang yang dibangun dapat memberi keuntungan yang sesuai dengan rencana.
“Pertama, lokasi kilang sebaiknya berada di pesisir pantai, digabung dengan petrochemical plant dan dekat dengan kawasan industri, yang menjadi pembeli produk kilang dan petrochemical. Lokasi di pesisir pantai dimaksudkan untuk memudahkan suplai crude dan perpindahan produk kilang dengan menggunakan moda transportasi laut,” ungkapnya dikutip laman Facebook miliknya, (14/07).
Menurut dia, biasanya produk kilang bisa menjadi bahan baku untuk petrochemical plant. Ongkos perpindahan produk kilang ini menjadi murah sekali kalau kilang dan petrochemical plant-nya berdekatan.
Ia menambahkan, hal itu akan tambah menguntungkan lagi jika ada industri di dekat kilang dan petrochemical plant yang menjadikan produk kilang dan petrochemical sebagai bahan bakunya.
“Inilah yang dinamakan dengan kawasan terintegrasi yang memberikan nilai tambah pada setiap industri yang terlibat,” paparnya.
Ia melanjutkan, yang kedua adalah sumber energi yang dibutuhkan untuk mengoperasikan kilang berasal dari energi terbarukan.
“Tekanan untuk menjaga kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat celsius pada akhir abad, ini semakin membuat industri migas terpinggirkan. Ditambah dengan rencana lembaga-lembaga keuangan dunia yang tidak mau lagi membiayai proyek-proyek migas seperti kilang ini. Padahal dalam dua dekade ke depan produk kilang dan petrochemical masih dibutuhkan oleh peradaban manusia,” bebernya.
Ia menerangkan, seharusnya dalam masa transisi menuju penggunaan energi bersih yang lebih luas, industri migas tetap bisa berpartisipasi lewat penggunaan energi listrik yang berasal dari energi terbarukan.
“Kalau ada gas CO2 yang dihasilkan maka teknologi CCS (Carbon Capture and Storage) bisa digunakan agar CO2 nya tidak dilepas ke udara. Dengan cara ini diharapkan lembaga keuangan dunia masih mau membiayai proyek migas dengan bunga yang lebih kompetitif,” terangnya.
Yang ketiga yakni tidak mengunci spesifikasi kilang untuk crude tertentu.
“Kalau kilang kita desain hanya untuk satu jenis crude maka saat crude tersebut sudah habis, kilang bisa menjadi tidak efisien. Dengan kata lain pasokan crude sangat bergantung dari umur sumur minyak, sementara umur kilang bisa lebih panjang daripada umur sumur,” imbuhnya.
“Setelah membahas strategi membangun kilang, apakah ada resiko bisnis yang ditanggung oleh pemilik (owner) kilang? Tentu ada. Dua resiko terbesar dalam bisnis kilang minyak yang harus dimitigasi,” sambung Arcandra.
Pertama keamanan pasokan crude yang harganya ditentukan oleh mekanisme pasar. Kedua harga jual produk (BBM dll) yang harganya juga ditentukan oleh mekanisme pasar.
Perumpamaanya seperti restoran dimana si pemilik restoran membeli seafood, sapi atau kerbau yang harganya bisa murah, bisa juga mahal tergantung ketersediannya.
Kemudian dapur dan juru masak mengolahnya menjadi masakan Padang, selanjutnya dijual ke pelanggan yang harganya bisa mahal juga bisa murah tergantung daya beli masyarakat pada saat itu. Celakanya kalau daging sapinya mahal sementara rendang dijual murah. Rugi jadinya.
“Adakah investor kilang yang lebih cerdas? Jawabannya ada. Caranya mereka tidak mau menanggung resiko dengan naik dan turunnya harga crude dan harga BBM. Mereka minta dibayar berdasarkan berapa volume crude yang mereka olah, misalnya US$ 4/bbl. Jadi mereka selalu untung dan tidak takut kalau harga crude melambung menjadi US$ 100/bbl,” ungkapnya.
“Ibaratnya untuk restoran Padang, si pemilik restoran hanya menerima daging sapi kemudian diolah jadi Rendang dan dibayar berdasarkan berapa kilogram rendang yang mereka masak. Berkaitan dengan berapa harga daging sapi dan harga jual rendang yang naik turun bukan urusan mereka. Cerdas bukan!,” tandasnya.