PGN

Surat Keputusan MA kepada PGN, Pengamat : PGN Diminta Libatkan Lembaga Tinggi

Jakarta, Ruangenergi.comMantan Presiden Feredasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Ugan Gandar, mengungkapkan, ketika dirinya diajak berdiskusi oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk, (PGN) merasa kaget, lantaran mendapati surat dari Menteri BUMN kala itu.

Dalam sebuah diskusi online bertemakan “Salah Apa PGN, Denda Pajak Memberatkan PGN”, yang selenggarakan oleh Ruang Energi dan APEI (Asosiasi Pengamat Energi Indonesia), Ugan mengaku menolak keras isi dari surat yang dilayangkan oleh Menteri BUMN kepada PT Pertamina (Persero).

Ugan Gandar

“Saya ketika diajak diskusi oleh PGN sangat kaget, karena saya termasuk salah satu yang bereaksi keras ketika ada satu surat dari Menteri BUMN kala itu kepada Direksi Pertamina yang mana didalamnya tertulis untuk menyerahkan seluruh saham Pertamina di Pertagas kepada PGN,” katanya dalam sebuah diskusi online, (04/03).

Ia mengungkapkan, pada saat itu saham negara masih berkisar 57% di tubuh PGN, dan 43% dipegang oleh swasta. Saat ini kebalikannya, di mana saham negara semakin mengecil dan swasta semakin membesar.

“Saya coba telusuri kenapa sampai MA mengeluarkan surat putusan terkait dengan masalah piutang pajak kepada PGN, dan nilainya cukup besar Rp 3,6 Triliun. Saya katakan kalau ini memang harus dibayar saya bisa jamin itu cashflow PGN berdarah-darah,” ungkap Ugan.

Menurutnya, kasus sepeti ini bukan terjadi kemarin sore, melainkan sudah dari tahun 2012-2013 yang lalu.

“Saya lihat kasus ini sejak tahun 2012-2013, ini cukup lama, tetapi mengapa baru diputuskannya belum lama,” imbuhnya.

Ia menuturkan, dalam objek sengketa pajak periode SKP 2012 dijelaskan bahwa pendapat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam UU No. 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yakni :

a.         Gas yang dijual oleh PGN merupakan gas hasil pengolahan yang mengakibatkan terjadinya pertambahan nilai barang sehingga dikenakan PPN sebesar 10%.

b.        Gas bumi tidak dikenai PPN berlaku sejak terbitnya PMK No. 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012.

Sementara, kata Ugan, dalam pendapat PGN, pihaknya menjelaskan bahwa :

a.         Tidak terdapat proses pengolahan dalam gas yang dijual PGN kepada pelanggan.

b.        PGN menerima gas sesuai Gas Sales Agreement (GSA) dari KKKS dengan spesifikasi yang telah diatur oleh regulasi pemerintah dan langsung menjual gas tersebut kepada pelanggan tanpa adanya proses pengolahan.

Kemudian dalam peraturan terkait UU Nomor 42, yakni :

a.         Pasal 4A ayat (2) huruf a. UU No. 42 tahun 2009 yang menjelaskan bahwa gas bumi merupakan barang hasil pertambangan yang tidak dikenakan PPN.

b.        Surat DJP Nomor S-470/WPJ.19/KP.0307/2009 tanggal 19 Agustus 2009 yang menegaskan bahwa gas bumi yang dijual PGN merupakan barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya yang tidak dikenai PPN.

Kemudian, dalam objek sengketa pajak periode SKP 2013, pendapat DJP sebagai berikut :

a.         Paska terbitnya PMK No.252/PMK.011/2012 DJP berpandangan bahwa gas bumi yang dialirkan melalui pipa tidak dikenakan PPN.

b.        Namun demikian DJP berpandangan bahwa terdapat jasa distribusi atas pengangkutan gas dalam kegiatan niaga gas PGN sehingga dikenakan pajak PPN (Komponen Rupiah).

Sementara, pendapat PGN dalam hal tersebut meliputi :

a.         PGN melakukan kegiatan niaga gas bumi dengan titik serah di lokasi pelanggan sehingga kegiatan niaga gas dan pelayanan gas kepada pelanggan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

b.        Komponen rupiah dalam harga jual gas bumi karena adanya risiko kurs mengingat krisis moneter 1998.

Kemudian dalam peraturan terkait, dijelaskan bahwa :

a.         Surat DJP Nomor S-2/PJ.02/2020 tanggal 15 Januari 2020 yang mengatakan bahwa kegiatan mengalirkan gas merupakan satu kesatuan yang melekat pada kegiatan penjualan gas bumi yang dialirkan melalui pipa yang tidak dikenakan PPN.

b.        Pasal 1 Permen ESDM No. 7 tahun 2007 yang menjelaskan bahwa harga jual gas bumi melalui pipa terdiri dari komponen harga gas bumi dalam US$ dan atau Rupiah.

Untuk itu, dampak jika PGN diharuskan membayar kewajiban seluruh pajak, pokok dan denda sebesar Rp 8,3 T (Sengketa 2012-2013), yakni :

1.        Maka PGN dalam laporan keuangan tahun 2020 akan mengalami kerugian diatas US$ 500 juta.
2.        PGN akan mengalami kesulitan cashflow.
3.        Program Kerja dalam RKAP 2021 akan terganggu.
4.        Pelaksanaan program penugasan dari Pemerintah akan terganggu, Kepmen ESDM No. 89/91 harga gas US$ 6 per MMBTU.
5.        Potensi penurunan harga saham.
6.        Berpotesi penurunan rating dan bankabilitas perusahaan akan menurun sehingga akan menyebabkan tingkat suku bunga pinjaman akan lebih tinggi.
7.        Tidak ada pembayaran deviden kepada Pemilik Saham.

“Adapun usulan solusi dari kami yakni :
1.        Putusan tidak excutable.
2.        Permohonan Penghapusan piutang pajak PGN.
3.        Ada penundaan pembayaran, setelah selesai penugasan dari pemerintah.
4.        Pembayaran piutang pajak dibayar dengan mengangsur selama 15 tahun,” tandasnya.

Marwan Batubara

Sementara, dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif IRESS, Marwan Batubara, menyampaikan ada beberapa upaya secara garis besar terkait permasalah yang dihadapi oleh PGN saat ini.

“Pertama, terkait legal yang logis. Memang Faktualnya ada dil lapangan atau yang sudah dijalankan oleh Pemerintah dan BUMN termasuk di pengadilan,” Kata

Ia mencatat, dari awal yang namanya PPN untuk gas yang disalurkan oleh PGN itu memang yang tidak termasuk kena pajak PPN. Karena itu pula sejak awal konsumen tidak dikenakan pajak, artinya yang dibayar itu sesuai yang disalurkan.

Karena itu, lanjutnya, PGN juga dalam menagih konsumen tidak menambahkan pajak PPN-nya.

“Kalau menurut peraturan ini tidak dikenakan pajak, ya sudah tidak ada komentar tambahan, dan faktanya (PGN) tidak memungut pajak sejak awal kepada konsumen bahwa harga yang dibebankan itu termasuk pajak,” imbuhnya.

“Saya kira yang dimenangkan oleh MA itu sesuatu diluar logika dan melanggar hukum juga, apalagi ini sesama lembaga negara,” sambung Marwan.

Kedua, spekulatif. Ini kejadiaannya di MA, kalau kita mau berspekulasi pasti ada moral hazard yang terjadi dan ada masalah pemburu rente.

Marwan menegaskan, bisa saja ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menafaatkan situasi ini melalui pengadilan dalam hal ini adalah MA.

Ia mengatakan, hal semacam ini juga pernah terjadi kepada PT Geo Dipa Energi, di mana ada pihak yang sengaja mempersalahkan pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi) yang berlokasi di Dieng, Jawa Tengah.

“Saya pernah terlibat dalam upaya-upaya advokasi untuk mempertahankan PLTP Dienag Patuha yang dimiliki oleh Geo Dipa Energi. Itu proses pengadilannya berlangsung selama 17 tahun, dan salah satu penjahatnya di MA itu yang bernama Nurhadi sudah ditangkap karena menerima suap dari PT Bumi Gas Energi,” terangnya.

“Intinya saya sampaikan bahwa di MA hal semacam ini, itu sesuatu yang biasa. Jadi bisa juga ini sesuatu objek untuk mereka oknum-oknum mendapatkan rente,” tuturnya.

Libatkan Lembaga Lain

Ia mengungkapkan, upaya yang ketiga yakni beberapa rekomendasi bisa ditempuh PGN. Salah satunya yakni meminta surat dari lembaga tinggi (Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN).

Selain itu, pintanya, untuk kasus seperti juga seharusnya perlu melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

“Jangan-jangan ada upaya untuk memborong saham, ada upaya cari rente yang dilakukan oleh segelintir orang. Karena setahu saya masalah ini Direksi dari PGN tidak ada yang berani bicara, terlebih lagi Komisaris tidak terdengar sama sekali,” beber Marwan.

Tentunya hal ini mengundang kecurigaan publik, jangan-jangan ada spekulasi bahwa pemerintah sedang butuh dana untuk menambal APBN.

“Saya kira ini perlu dituntaskan, dan saya kira PGN tidak harus membayar itu, karena bisa melibatkan lembaga tinggi negara masih dalam satu kepemimpinan (Presiden) untuk mencarikan solusi terhadap permasalah ini,” tutup Marwan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *