Jakarta,ruangenergi.com– Indonesia Petroleum Association (IPA) menilai era energi transisi itu sudah tiba. Semangat untuk menurunkan emisi karbon supaya nanti di jangka panjang suhu di dunia ini tidak naik lebih dari 2 derajat celcius.
Kini saatnya energi bersih di kedepankan. Ini mungkin tidak terjadi sekejap saja, makanya ada energi transisi.
“Saya termasuk yang percaya, biarpun energi bersih itu sudah bahkan kita tidak bisa menghilangkan sama sekali energi fosil. Tapi kita belum pernah melakukan CCS/CCUS (cabon capture storage dan carbon capture utilization and storage) besar-besaran sebelumnya.By the CCS/CCUS sudah dilakukan tapi namanya lain, yakni EOR (enhanced oil recovery) yang memakai macam-macam belum tentu pakai CO2. Nah ini (CCS/CCUS) mau pakai CO2 karena mau nurunkan emisi karbon,”kata Direktur Executive IPA Marjolijn Wajong menjawab pertanyaan ruangenergi.com dalam diskusi bersama media, Kamis (16/03/2023), di Jakarta.
Bicara CCS/CCUS
Marjolijn Wajong-yang akrab disapa Meity- menjelaskan itu sebabnya Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat aturan terkait CCS/CCUS ini.
“Bahwa CCS/CCUS masuk ke dalam petroleum operation. Nah dengan demikian segala pengaturannya mengikuti skema industri migas. Itulah Permen 2 tahun 2023,” ungkap Meity.
Hal yang sudah disepakati di seluruh dunia, bukan di Indonesia saja, itu sudah bisa dilakukan. Sudah ada cantolan hukumnya.
“Saya mau bicara sedikit CCS/CCUS ini.Kan tadi saya bilang untuk menurunkan emisi karbon, gak salah dong. Padahal emisi karbon yang ada di sektor hulu migas, tidak terlalu besar ternyata bila dibandingkan dengan pembangkit maupun di transportasi. Jadi, pemerintah melihatnya dari sisi itu. Bagaimana dari sisi investor? Investor itu kalau mau mengembangkan lapangan migas, itu kan butuh dana. Si pendana-pendana itu, bahkan dari seluruh dunia, hanya mau memberikan pinjaman dana kalau ada program penurunan emisi,” papar Marjolijn.
Jika bicara CCS/CCUS ini, lanjut Marjolijn, ada dua fungsi yakni menurunkan emisi karbon dan license to invest . Jika ingin invest maka harus melakukan CCS/CCUS. Jika tidak melakukan ini maka niscaya perbankan akan memberikan pinjaman, kalaupun diberikan namun dengan rate interest yang tinggi.
Hanya saja, program CCS/CCUS ini menambah biaya. Namun bagaimana penambahannya tergantung pada kontrak PSC (production sharing) nya.
“Baik PSC maupun Gross Split untuk CCS/CCUS ini ikutin aja kontraknya. Gak ada yang beda.Ini masuk ke dalam petroleum operation maka pemberlakuan atau management costnya pasti ada tambahan, ya pasti sama dengan cost-cost lain,” tegas Marjolijn.
Hanya saja, biasanya, kalau cost bertambah maka keekonomiannya jadi turun alias harga gasnya jadi lebih mahal. Makanya pemerintah bersama-sama investor harus cari akal. Misalnya, apakah infrastruknya lebih dibangun sehingga biayanya lebih murah, tidak usah buat fasilitas besar-besar untuk LNG, atau insentif. Berupa apa? Macam-macam insentif fiscal.
“Kenapa saya bilang macem-macem insentif? Begini loh, tiap lapangan gas itu kesulitannya berbeda. Yang di Papua di hutan sana, dibandingkan dengan di Jawa Timur.Atau yang sumber gasnya dalam atau yang shallow, itu beda (insentif) nya. Tergantung tingkat kesulitannya inilah keekonomiannya seberapa jauh untuk insentif. Tergantung kontraknya bisa dikasih apa. Jadi saya tidak bisa bilang, satu macam insentif berlaku semua karena kebutuhannya beda-beda. Kontraknya juga beda-beda,” ungkap Marjolijn.
IPA, urai Marjolijn, juga ikut berdiskusi banyak dengan pemerintah. Intinya, mau itu (CCS/CCUS) dilakukan dengan cantolan yang jelas, dan kejelasan mengenai pemberlakuan perhitungan komersialnya.
“Tapi tolong dipahami, peraturan ini berlaku untuk daerah-daerah di dalam wilayah kerja migas,” pungkas Marjolijn.