Jakarta Pusat, Jakarta, ruangenergi.com- Telah terbitĀ Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 April 2025 oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 April 2025 oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum Rep.Indonesia Dhana Putra. Dicatatakan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 259.
Ruangenergi.com membaca isiĀ Permen Nomor 10 tahun 2025, antara lain isinya sebagai berikut:
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Transisi Energi adalah proses transformasi penyediaan dan pemanfaatan energi tak terbarukan menjadi energi baru dan energi terbarukan, penggunaan teknologi energi rendah karbon, dan/atau efisiensi energi secara bertahap, terukur, nasional, dan berkelanjutan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
2. Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara yang selanjutnya disebut PLTU adalah pembangkit listrik tenaga uap yang memanfaatkan sumber energi bahan bakar batubara.
3. Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU adalah penghentian operasi PLTU sebelum mencapai usia teknis atau masa pakai yang direncanakan.
4. Pengembang Pembangkit Listrik yang selanjutnya disingkat PPL adalah badan usaha penyediaan tenaga listrik yang bekerja sama dengan Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (Perusahaan Perseroan) melalui penandatanganan perjanjian jual beli tenaga
listrik.
5. Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik yang selanjutnya disebut PJBL adalah perjanjian jual beli tenaga listrik antara PPL dan Perseroan Terbatas Perusahaan Listrik Negara (Perusahaan Perseroan).
PELAKSANAAN TRANSISI ENERGI
SEKTOR KETENAGALISTRIKAN
Pasal 2
(1) Transisi Energi sektor ketenagalistrikan dilaksanakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
(2) Transisi Energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. implementasi cofiring biomassa di PLTU;
b. akselerasi pengurangan penggunaan bahan bakar minyak pada pembangkitan tenaga listrik;
c. retrofitting pembangkit fosil;
d. pembatasan penambahan PLTU;
e. akselerasi pengembangan variable renewable
energy dan tambahan pembangkit tenaga listrik
hanya dari pembangkit energi baru dan energi
terbarukan;
f. produksi green hydrogen (H2) atau green ammonia
(NH3);
g. pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir;
h. pembangunan dan/atau peningkatan kapasitas jaringan sistem tenaga listrik dan infrastruktur jaringan cerdas (smart grid); dan/atau
i. Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU.
Pasal 3
Implementasi cofiring biomassa di PLTU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
Akselerasi pengurangan penggunaan bahan bakar minyak pada pembangkitan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui:
a. dedieselisasi, yaitu program penggantian pembangkit listrik tenaga diesel dengan pembangkit energi terbarukan dan/atau hibrida pembangkit listrik tenaga diesel dengan pembangkit energi terbarukan untuk tetap menjaga kontinuitas dan kecukupan pasokan
tenaga listrik sepanjang waktu; atau
b. gasifikasi, yaitu program penggantian penggunaan bahan bakar minyak ke gas untuk pembangkit listrik tenaga gas, pembangkit listrik tenaga gas dan uap, pembangkit listrik tenaga mesin gas, atau pembangkit listrik tenaga mesin gas uap.
Pasal 5
Retrofitting pembangkit fosil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c dilaksanakan melalui:
a. retrofitting PLTU, berupa implementasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) yang dapat menyimpan emisi gas rumah kaca dalam formasi geologi dan penggunaan green ammonia (NH3); atau
b. retrofitting pada pembangkit listrik tenaga gas, pembangkit listrik tenaga gas dan uap, pembangkit listrik tenaga mesin gas, atau pembangkit listrik tenaga mesin gas uap yang dapat dilakukan melalui
implementasi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) dan penggantian bahan bakar menjadi 100% (seratus persen) green hydrogen(H2).
Pasal 6
(1) Pembatasan penambahan PLTU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dilaksanakan melalui pelarangan pengembangan PLTU baru.
(2) Pengembangan PLTU baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang kecuali untuk:
a. PLTU yang telah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi
Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik; atau
b. PLTU yang memenuhi persyaratan:
1. terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam
proyek strategis nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional;
2. berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% (tiga puluh lima persen) dalam jangka waktu
10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 202l melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan; dan
3. beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
Pasal 5
Retrofitting pembangkit fosil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf c dilaksanakan melalui:
a. retrofitting PLTU, berupa implementasi teknologi
penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon
capture and storage) yang dapat menyimpan emisi gas
rumah kaca dalam formasi geologi dan penggunaan
green ammonia (NH3); atau
b. retrofitting pada pembangkit listrik tenaga gas, pembangkit listrik tenaga gas dan uap, pembangkit listrik tenaga mesin gas, atau pembangkit listrik tenaga mesin gas uap yang dapat dilakukan melalui
implementasi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) dan penggantian bahan bakar menjadi 100% (seratus persen) green hydrogen (H2).
Pasal 6
(1) Pembatasan penambahan PLTU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dilaksanakan melalui pelarangan pengembangan PLTU baru.
(2) Pengembangan PLTU baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang kecuali untuk:
a. PLTU yang telah ditetapkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik sebelum berlakunya Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi
Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik; atau
b. PLTU yang memenuhi persyaratan:
1. terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam
proyek strategis nasional yang memiliki kontribusi besar terhadap penciptaan lapangan kerja dan/atau pertumbuhan ekonomi nasional;
2. berkomitmen untuk melakukan penguranganemisi gas rumah kaca minimal 35% (tigapuluh lima persen) dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak PLTU beroperasi dibandingkan dengan rata-rata emisi PLTU di Indonesia pada tahun 202l melalui pengembangan teknologi, carbon offset, dan/atau bauran energi terbarukan; dan
3. beroperasi paling lama sampai dengan tahun 2050.
Pasal 7
Akselerasi pengembangan variable renewable energy dan tambahan pembangkit tenaga listrik hanya dari pembangkit energi baru dan energi terbarukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e dilaksanakan sebagai alternatif penyediaan tenaga listrik.
Pasal 8
Produksi green hydrogen (H2) atau green ammonia (NH3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf f dapat dilakukan melalui pemanfaatan potensi energi baru dan energi terbarukan.
Pasal 9
Pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf g harus memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan, dan garda aman sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 10
(1) Pembangunan dan/atau peningkatan kapasitas jaringan sistem tenaga listrik dan infrastruktur jaringan cerdas (smart grid) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf h dilaksanakan untuk:
a. pemerataan evakuasi daya energi listrik dari pembangkit energi baru dan energi terbarukan ke pusat beban yang berjarak relatif jauh; dan
b. optimasi pemanfaatan teknologi komunikasi yang terdigitalisasi untuk mengintegrasikan pengendalian penyediaan dan pemanfaatan
tenaga listrik pada sistem pembangkitan, transmisi, hingga distribusi tenaga listrik agar lebih andal dan efisien.
(2) Pembangunan dan/atau peningkatan kapasitas jaringan sistem tenaga listrik dan infrastruktur jaringan cerdas (smart grid) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. pembangunan interkoneksi transmisi antar pulau;
b. pembangunan dan peningkatan kapasitas transmisi dalam rangka penguatan sistem ketenagalistrikan;
c. pembangunan pembangkit cerdas (smart power plant);
d. pembangunan jaringan transmisi cerdas (smart transmission);
e. pembangunan sistem pengendali cerdas (smart control system); dan/atau
f. pembangunan jaringan distribusi cerdas (smart distribution).
Pasal 11
(1) Pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf i memperhatikan kriteria paling sedikit:
a. kapasitas;
b. usia pembangkit;
c. utilisasi;
d. emisi gas rumah kaca PLTU;
e. nilai tambah ekonomi;
f. ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri; dan
g. ketersediaan dukungan teknologi dalam negeri dan luar negeri.
(2) Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU memperhatikan kriteria:
a. keandalan sistem ketenagalistrikan;
b. dampak kenaikan biaya pokok penyediaan tenaga
listrik terhadap tarif tenaga listrik; dan
c. penerapan aspek Transisi Energi berkeadilan (just energy transition).
Pasal 12
(1) Dalam hal terdapat ketersediaan dukungan pendanaan, pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU harus didahului dengan kajian Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU.
(2) Kajian Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh PT PLN (Persero) berdasarkan penugasan dari Menteri.
(3) Kajian Percepatan Pengakhiran Masa Operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan ketentuan:
a. dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak penugasan dari Menteri;
b. memuat paling sedikit aspek teknis, aspek hukum, aspek komersial, dan aspek keuangan termasuk sumber pendanaan, serta penerapan
prinsip tata kelola yang baik dan prinsip business judgement rules; dan
c. dapat memanfaatkan berbagai kajian dari lembaga independen sebagai referensi tambahan.
Pasal 17
(1) Menteri melakukan evaluasi pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU.
(2) Evaluasi pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim kerja gabungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b bersama dengan pemberi dukungan pendanaan secara berkala
setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat peningkatan biaya Percepatan Pengakhiran Masa
Operasional PLTU sehingga diperlukan tambahan
dukungan pendanaan, Menteri menunjuk lembaga independen untuk melakukan kajian sebagai referensi tambahan setelah diselesaikannya proses pengadaan pembangkit pengganti PLTU.
(4) Hasil kajian oleh lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak penunjukan.
(5) Berdasarkan hasil evaluasi tim kerja gabungan
bersama pemberi dukungan pendanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan hasil kajian sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat
mempertimbangkan penambahan dukungan
pendanaan.
(6) Penambahan dukungan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan negara, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
(7) Dalam hal penambahan dukungan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disetujui, penambahan dukungan pendanaan dilaksanakan oleh pemberi dukungan pendanaan.
Pasal 18
(1) Transisi Energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilaksanakan sesuai dengan peta jalan (road map) Transisi Energi sektor ketenagalistrikan.
(2) Peta jalan (road map) Transisi Energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Peta jalan (road map) Transisi Energi sektor ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pasal 19
(1) Kajian oleh lembaga independen terkait Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU yang telah dilaksanakan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dapat digunakan untuk penetapan PLTU yang
dilakukan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional
PLTU sepanjang:
a. dilengkapi dengan hasil reviu oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional; dan
b. terdapat ketersediaan dukungan pendanaan.
(2) Penetapan PLTU yang dilakukan Percepatan Pengakhiran Masa Operasional PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
(3) Penetapan PLTU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sebagai penugasan kepada PT PLN (Persero).
Peta Jalan
Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan untuk
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Strategi pengelolaan pembangkit tenaga listrik eksisting dan pengembangan pembangkitan tenaga listrik diterjemahkan dalam proyeksi kapasitas pembangkit tenaga listrik hingga tahun 2060 melalui optimasi pembangkit tenaga listrik.
Untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan listrik dan menggantikan pembangkit tenaga listrik eksisting yang akan berkurang, diperlukan tambahan kapasitas sekitar 9,6 (sembilan koma enam) gigawatt per tahun. Pada tahun 2060, total kapasitas pembangkit tenaga listrik diproyeksikan mencapai 443 (empat ratus empat puluh tiga) gigawatt, terdiri atas:
1. 41,5% (empat puluh satu koma lima persen) pembangkit variable renewable energy yang dilengkapi kapasitas penyimpanan (storage)
sekitar 34 (tiga puluh empat) gigawatt yang meliputi:
a) PLTS: 108,7 (seratus delapan koma tujuh) gigawatt atau 24,6% (dua puluh empat koma enam persen);
b) PLTB: 73,5 (tujuh puluh tiga koma lima) gigawatt atau 16,6% (enam belas koma enam persen); dan
c) PLTAL: 1,4 (satu koma empat) gigawatt atau 0,3% (nol koma tiga persen).
2. 58,5% (lima puluh delapan koma lima persen) pembangkit
dispatchable (nonvariable renewable energy) yang meliputi:
a) PLTA: 70,5 (tujuh puluh koma lima) gigawatt atau 15,9% (lima
belas koma sembilan persen);
b) PLTU NH3 : 8,4 (delapan koma empat) gigawatt atau 1,9% (satu koma sembilan persen);
c) PLTU cofiring biomassa dan carbon capture storage: 54 (lima puluh empat) gigawatt atau 12,2% (dua belas koma dua persen)
d) PLTP: 22,7 (dua puluh dua koma tujuh) gigawatt atau 5,1% (lima koma satu persen);
e) PLTG/PLTGU/PLTMG/PLTMGU H2: 25,3 (dua puluh lima koma tiga) gigawatt atau 5,7% (lima koma tujuh persen);
f) PLTG/PLTGU/PLTMG/PLTMGU dan carbon capture storage: 36,9 (tiga puluh enam koma sembilan) gigawatt atau 8,3% (delapan koma tiga persen);
g) PLTG/PLTGU/PLTMG/PLTMGU: 0,8 (nol koma delapan) gigawatt atau 0,2% (nol koma dua persen);
h) PLTBio: 4,5 (empat koma lima) gigawatt atau 1% (satu persen);
i) PLTN: 35 (tiga puluh lima) gigawatt atau 7,9% (tujuh koma
sembilan persen); dan
j) waste heat: 0,9 (nol koma sembilan) gigawatt atau 0,2% (nol
koma dua persen).