Jakarta, Ruangenergi.com – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan implementasi cofiring biomassa berbasis cangkang sawit pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ketapang berkapasitas 2×10 Megawatt (MW) dan PLTU Sanggau 2×7 MW resmi beroperasi secara komersial pada Selasa (29/12).
Peresmian ini dilakukan secara daring dan dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Dalam sambutannya, Dadan mengapresiasi komersialisasi Cofiring kedua PLTU tersebut sebagai bukti keseriusan PT PLN (Persero) dalam meningkatkan kontribusi EBT dalam bauran energi nasional.
“Kami sangat mengapresiasi upaya PLN dan group dalam Golive Komersial Cofiring PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau. Apresiasi kami kepada PLN dan group untuk terus mendukung upaya transisi energi yang berbasis energi terbarukan berkelanjutan, dimana salah satu program green booster-nya PLN ada cofiring pada PLTU eksisting dengan menggunakan baik itu biomassa ataupun sampah,” jelas Dadan.
Setelah PJB berhasil Go Live Komersial di PLTU Paiton, PLTU Pacitan, PLTU Jerajang, PLTU Suralaya 1-4, PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau berhasil, Dadan berharap akan segera disusul dengan Go live komersial dari di PLTU-PLTU yang lainnya.
Apresiasi pemerintah kepada UIKL Kalimantan karena Go Live Komersial PLTU Ketapang 2X10 MW dan PLTU Sanggau 2X7 MW lantaran kedua PLTU tersebut merupakan PLTU pertama yang dikelola oleh unit induk PLN yang melakukan implementasi cofiring secara komersial.
“Ini sesuatu yang sangat smart dari sisi bagaimana kita secara pas memahami kondisi PLN dari sisi supply dan demand dan bagaimana Pemerintah dan PLN sedang berjuang untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan secara masif. Substitusi yang kita lihat sekarang tidak perlu mengganti teknologi dan PLTU. Cofiring bisa menjadi salah satu terobosan,” beber Dadan.
Selain itu, hal tersebut juga mendukung kontribusi capaian EBT, Dadan meyakini implementasi program cofiring biomassa khususnya yang berbasis sampah dan limbah memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi kerakyatan yang produktif (circullar economy).
“Menurut saya ini sesuatu yang paling pas disaat PLN over supply dari sisi listrik, di saat kita memerlukan upaya lapangan kerja, di saat aspek lingkungan menjadi sangat kuat terkait dengan penurunan emisi GRK (Gas Rumah Kaca), dan ini salah satu jawabannya, ya cofiring. Semuanya bisa berkontribusi dan berjalan,” papar Dadan.
Ia mengharapkan PT PLN juga punya semangat dan komitmen yang kuat untuk bisa menyediakan energi untuk negeri dengan energi yang lebih ramah lingkungan.
“Semoga implementasi cofiring di PLTU Ketapang dan PLTU Sanggau berkelanjutan dan dapat menjadi pembelajaran bagi pelaksanaan cofiring di PLTU lain di Indonesia. Besar harapan kami pelaksanan Go Live Komersial ini akan disusul oleh implementasi komersial di PLTU lainnya sesuai dengan peta jalan pengembangan cofiring yang kita susun bersama,” tukas Dadan.
Kejar Target EBT 23%
Dadan menambahkan, upaya cofiring ini tentunya akan berdampak positif dalam pencapaian kontribusi di sektor EBT, di mana di dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) telah ditetapkan target pemanfaatan energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Tentunya hal ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemangku kepentingannya untuk bisa merealisasikannya.
“Dengan capaian di 2020 ini kurang lebih 11%, maka PR kita untuk mencapai target tersebut masih cukup besar dan diperlukan berbagai terobosan dan inovasi untuk akselerasinya,” imbuhnya.
Menurutnya, substitusi energi merupakan upaya yang mudah, cepat dan murah. Apalagi di masa Pandemi Covid-19 ini, di mana permintaan atas energi menurun dan ketersediaan dana untuk investasi juga terbatas. Untuk itu, kata Dadan, upaya substitusi energi untuk jangka pendek dan menengah menjadi pilihan yang cerdas.
Adan menjelaskan, cofiring biomasa pada PLTU bukanlah hal baru. Banyak negara-negara di luar yang sudah berhasil menghijaukan PLTU-nya dengan program cofiring biomassa, bahkan hingga 100% PLTU digantikan dengan biomasa.
“Ke depan kita juga akan berupaya untuk bisa mengurangi PLTU-PLTU eksisting untuk digantikan dengan pembangkit-pembangkit yang lebih bersih,” urai Dadan.
Dadan berharap program cofiring dilaksanakan secara berkelanjutan dan semua pihak dapat turut menyukseskan programĀ ini.
“Kita tidak berharap program ini hanya berjalan sebentar, presentase campuran biomassa juga harus terus ditingkatkan. Untuk itu, sisi hulu penyediaan feedstock-nya harus sama-sama kita bangun dan kita kembangkan dengan baik,” jelasnya kembali.
Guna mendukung pelaksanaan program ini Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) telah menyusun rencana aksi dengan melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk PLN, di antaranya :
Pertama, penyelesaian roadmap pengembangan cofiring biomassa termasuk penentuan skala prioritas klaster PLTU;
Kedua, membentuk tim teknis yang bertugas untuk pendampingan dan monitoring pada pelaksanaan implementasi komersial cofiring biomassa, terutama terkait pasokan bahan baku dan skema bisnis;
Ketiga, menyusun RSNI pelet biomassa dan bahan bakar jumputan padat, diharapkan menjadi SNI pada Desember 2020;
Keempat, menyusun Rpermen ESDM implementasi cofiring yang ditargetkan selesai pada B03 2021; dan
Kelima, membangun ekosistem listrik kerakyatan dengan melibatkan BUMDes serta meningkatkan bekerjasama dengan Kementerian atau Lembaga terkait lainnya untuk menyukseskan program cofiring.